"Fatwa Resolusi Jihad Fii Sabilillah oleh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 saat itu mewajibkan setiap muslimin dan muslimat mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari gempuran tentara sekutu atas dasar keimanan pada Allah dan cinta tanah air," kata Basarah, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, dalam fatwa itu, KH Hasyim Asy’ari mengungkapkan hubbul wathan minal iman artinya cinta tanah air adalah bagian dari iman, bela negara adalah bagian dari menjalankan syariat agama.
Karena itu dia menilai, kata jihad yang artinya bersungguh-sungguh, seharusnya selalu dimaknai positif bersungguh-sungguh melakukan kebaikan di jalan Allah, termasuk mencintai Tanah Air demi kebaikan bangsa.
Baca juga: LDII: Hari Santri momentum pemberdayaan santri
Dia menjelaskan, lahirnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22/2015 tentang Hari Santri bukan hanya bagian dari upaya Joko Widodo memenuhi janji-janjinya dalam kampenye di Pemilu 2014.
"Namun lebih dari itu, Keppres Hari Santri merupakan pengakuan negara terhadap peran, jasa, dan kontribusi seluruh ulama tanah air dalam berjihad merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia," ujarnya.
Basarah mengatakan, pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang heroik tidak akan pernah terjadi tanpa fatwa perang sabil yang diserukan KH Hasyim Asy'ari dan alim ulama di Jawa-Madura. Fatwa itu menurut dia, menjadi landasan moril sekaligus spirituil untuk menggelorakan api perjuangan rakyat Indonesia.
"Ini hasil ijtihad alim ulama yang menempatkan ajaran agama dan semangat kebangsaan dalam satu tarikan nafas. Jihad harus dimaknai sebagai bela tanah air," katanya.
Baca juga: Menag ingatkan pesantren bersiap adaptasi regulasi ponpes
Menurut Basarah, latar belakang ditetapkannya keputusan politik ketatanegaraan Hari Santri bermula ketika dirinya mendampingi Joko Widodo untuk memperingati haul pendiri NU dan Bung Karno di Jawa Timur pada 27 Juni 2014.
Dia mengatakan, saat itu Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai calon presiden, berkunjung ke Pesantren Babussalam di Jalan Hasyim Asy'ari, Banjarejo, Malang, Jawa Timur dan di sana, Joko Widodo, di hadapan pengasuh Pondok Pesantren Babussalam KH. Thoriq Bin Ziad, juga alim ulama dan ribuan pendukungnya, menandatangani kontrak politik sanggup menetapkan 1 Muharram sebagai Hari Santri jika kelak memenangkan Pemilu 2014.
Baca juga: Hari Santri, Menag ingatkan pesantren tidak jadi klaster COVID-19
"Ide awalnya memang Hari Santri direncanakan diperingati setiap 1 Muharram seperti yang tertera dalam kontrak politik itu. Namun, dalam perjalanannya, Presiden Joko Widodo menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri yang tentu saja dengan pertimbangan matang," ujarnya.
Basarah mengatakan saat ini setelah kontrak politik itu direalisasikan Presiden Jokowi, dirinya mengajak semua pihak untuk mengenang peran alim-ulama dan tokoh-tokoh bangsa lainnya dalam proses merumuskan Pancasila sebagai dasar negara.
Ia menegaskan bahwa diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama sebagai dasar dan ideologi negara adalah hasil ijtihad para alim ulama.
Baca juga: Gus Jazil: Hari Santri semangat agama bertemu nasionalisme
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020