Surabaya (ANTARA News) - Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama (NU) di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 23-27 Maret 2010 agaknya memiliki nilai strategis untuk menentukan wajah NU di masa depan.

Apalagi, kiprah almarhum Gus Dur dan KHA Hasyim Muzadi telah mendongkrak posisi NU sebagai kekuatan Islam yang diperhitungkan masyarakat global.

Bahkan, Amerika Serikat (AS) melihat NU sebagai kekuatan Islam moderat di dunia dengan populasi muslim terbesar yang berkisar 80 juta sesuai hasil survei dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Sebagai kekuatan besar dan diperhitungkan agaknya NU memiliki dua peluang yang sama-sama memungkinkan yakni NU menjadi sasaran intervensi dan NU mampu melakukan intervensi terhadap masalah di luar.

Masalahnya, peran mana yang akan diambil NU pascamuktamar?

"NU harus menjadi `payung` yang meneduhkan semua Nahdliyin (warga NU) dari partai dan pilihan politik apapun," kata salah satu kandidat ketua umum PBNU, Masdar Farid Mas`udi.

Menurut dia, kebesaran NU harus diikuti dengan kebesaran NU dalam memberikan kebebasan kepada warganya untuk menentukan pilihan-pilihan.

"Dengan menjadi `payung`, maka NU akan mudah menjadi kekuatan masyarakat sipil yang independen," kata mantan direktur Pusat Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta itu.

Sebagai kekuatan masyarakat sipil, keputusan Muktamar ke-32 NU dalam masalah politik praktis agaknya dapat menjelaskan posisi NU akan menjadi "payung" masyarakat atau tidak.

Adalah Komisi Bahsul Masail Qonnuniah (Komisi Perundang-undangan) pada Muktamar Makassar yang merekomendasikan untuk mendukung rencana pemerintah mengembalikan pemilihan gubernur yang ditentukan oleh DPRD, bukan pemilihan langsung oleh rakyat.

"NU mendukung revisi pemilihan gubernur itu dipilih DPRD dan dari tiga nama yang dipilih DPRD akhirnya diajukan ke Presiden untuk ditentukan satu orang sebagai gubernur," kata Ketua Komisi Bahsul Masail Qonnuniah Prof Dr KH Ridwan Lubis di Makassar (26/3).

Menurut dia, dukungan pengembalian pemilihan gubernur di tingkat DPRD itu dilakukan untuk mengurangi biaya pemilu, sekaligus memacu parpol untuk dapat menyiapkan kader-kader terbaiknya di DPRD.

"Kader parpol yang terbaik itu yang nantinya bertugas untuk memilih gubernur yang layak, bukan karena politik uang. Jadi, presiden akan dipilih langsung, gubernur tidak langsung, dan bupati/wali kota dipilih langsung, termasuk kepala desa," katanya.

Paling tidak, pilgub yang tidak langsung juga dapat membuat tugas NU menjadi relatif ringan, karena warga NU yang jumlahnya cukup besar dan mudah "terbelah" dalam pilkada langsung itu akan dapat dihindari, sehingga NU tidak akan kerepotan untuk melakukan islah dan seterusnya.

Lebih indah

Tidak hanya untuk warga, Muktamar Makassar juga mampu "mengatur" pemimpin NU dalam kaitan politik praktis yakni pemimpin NU yang mengincar jabatan politik mulai dari presiden hingga bupati/walikota, harus mundur dari jabatannya.

"Keputusan komisi organisasi, pengurus harian yang akan mencalonkan diri untuk jabatan politik harus mengundurkan diri," kata Ketua Panitia Muktamar KH Hafidz Utsman.

Pengurus harian yang dimaksud adalah rais aam, wakil rais aam, ketua umum, dan wakil ketua umum di tingkat pengurus besar (pusat) serta rais syuriah dan ketua tanfiziah di tingkat pengurus wilayah dan cabang.

Aturan itu lebih tegas dari aturan dalam muktamar sebelumnya yang hanya mensyaratkan pengurus NU nonaktif selama proses pemilihan presiden (Pilpres) atau Pilkada.

Lantas, bagaimana hubungan NU dan warga NU dengan partai politik?

"NU sudah sepakat untuk menyerahkan potensi politik warga NU yang cukup besar kepada kepada PBNU untuk mengarahkan warga NU, bukan kepada parpol," kata Sekretaris PWNU Jatim HM. Masyhudi Muchtar.

Tapi, arahan PBNU itu tidak akan dipusatkan kepada partai A atau B, sebab semuanya akan bersifat situasional.

"Bisa saja PKB, PPP, Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, dan sebagainya," katanya.

Dengan keputusan itu agaknya siapapun yang menjadi pemimpin NU akan lebih fokus dalam mengurusi warga NU, mengingat masalah politik praktis tidak akan menjadi urusan sepanjang tahun dan bertahun-tahun.

Bahkan, sidang komisi Bahtsul Masail Diniyyah Maudlu`iyyah dalam Muktamar ke-32 NU juga mendorong ekonomi kerakyatan yang merujuk "Nahdlatut Tujjar" yang merupakan roh perjuangan NU dalam bidang ekonomi.

"Konsep Islam mengenai ekonomi mengacu kepada kepentingan umum. Bukti konkret dari ekonomi kerakyatan dalam Islam adalah zakat, shadaqah, dan infak. Jadi, ekonomi kerakyatan merupakan sistem yang berbasis pada syari`at (maqashidus syari`ah)," kata Ketua Tim Materi Bahtsul Masail Diniyyah Maudlu`iyyah KH Drs H M. Masyhuri Naim, MA.

Oleh karena itu, NU mendesak pemerintah untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan, mengingat perekonomian di Indonesia masih menguntungkan industri dan belum memihak rakyat.

Selain itu, Komisi Program pada Muktamar ke-32 NU juga merekomendasikan NU untuk membangun rumah sakit pada tingkat wilayah (provinsi) guna menyehatkan masyarakat.

"Langkah NU dalam kurun lima tahun ke depan adalah membangun rumah sakit NU di tingkat provinsi, sebab kalau di tingkat kabupaten/kota sudah banyak, sekaligus melanjutkan program pengembangan pendidikan umum dan pesantren dalam skala internasional," kata Ketua Komisi Program KH. Abbas A. Muin.

Agaknya, keputusan Muktamar Makassar membuktikan NU pascamuktamar akan lebih indah, karena pengurus NU tidak akan "tersandera" urusan politik praktis, namun lebih fokus pada ekonomi kerakyatan, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan masyarakat di tingkat bawah.
(T.E011/A025/P003)

Oleh Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010