Jakarta (ANTARA) - Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) Brigadir Jenderal Polisi Slamet Uliandi memaparkan dua permasalahan yang mengancam masyarakat di era digitalisasi 4.0 menuju revolusi industri 5.0.
"Yang perlu kita antisipasi bahwa kita akan masuk industri 5.0, masa transisi ini harus benar-benar kita persiapkan. Sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang berdaulat dan berwibawa. Mengingat itu, ada dua potret permasalahan yang coba saya gambarkan," kata Slamet dalam web seminar dalam rangka Hari Ulang Tahun Partai Golkar ke-56 di Jakarta, Rabu.
Potret permasalahan yang perlu diantisipasi pertama adalah terkait serangan operasi semacam Stuxnet yang berpotensi kembali dilancarkan di masa kini atau masa yang akan datang.
Slamet mengatakan berbagai kalangan menilai operasi Stuxnet, berupa kiriman malware itu, merupakan contoh operasi digital yang berhasil, terutama saat digunakan Amerika Serikat dalam aksi spionase terhadap Iran.
"Operasi stuxnet dijadikan role model bagi generasi-generasi yang ada pada saat ini atau bahkan yang akan datang," kata Slamet.
Baca juga: Tiga aspek penting dalam menjaga keamanan siber
Baca juga: Serangan siber yang targetkan Asia Tenggara meningkat selama pandemi
Baca juga: BSSN: Keamanan siber Indonesia membaik 2020
Potret permasalahan berikutnya, kata Slamet, adalah antisipasi terhadap pencurian data. Ia berkaca pada aksi Snowden 2013 yang berhasil mencuri ribuan data intelijen dan data negara.
Itu berlanjut lagi dengan pencurian hampir 3 juta data Yahoo, berupa data alamat, data e-mail, dan data password.
"Dari potret ini, yang saya coba gambarkan bahwa artinya setiap teknologi akan ada efek sampingnya, yaitu yang saya lihat adalah perebutan sumber daya (resources) baru. Data is a new oil seperti apa yang disampaikan bapak (Presiden) Jokowi, data adalah jenis kekayaan baru dari bangsa kita," kata Slamet.
Untuk itu, maka tentunya aparat penegak hukum dan para anggota DPR RI harus berupaya mengamankan data untuk mewujudkan kedaulatan bangsa ini, katanya.
"Tentu ini menjadi fokus kami, dan tanggung jawab bapak-bapak yang ada di DPR," ujarnya.
Terkait dua potret ancaman yang telah dipaparkan tersebut, Slamet mengatakan ada tiga karakteristik kejahatan siber yang terjadi pada saat ini, yaitu tanpa batas (borderless), anonim, dan terorganisasi.
"Saya lihat, internet sudah bisa digunakan dari mana saja. Dan kejahatan itu sudah tidak ada batasnya. Contoh kejahatan misalnya kita lihat orang IT-nya seperti ada di Lampung. Padahal, orangnya bukan di sana," kata Slamet.
Kemudian, identitas pelaku kejahatan siber-nya anonim, artinya tidak memakai identitas aslinya, bahkan cenderung memakai identitas ganda.
Terakhir, karakteristik ketiga berkaitan dengan organisasi illegal access, Slamet berharap DPR bisa menyegerakan membuat Rancangan Undang-Undang untuk menghadapi hal tersebut.
Illegal Access itu kejahatan yang kerap dilakukan dengan terorganisir, kata Slamet. Ia melihat negara menjadi sangat dirugikan dengan adanya kejahatan tersebut.
"Kalau boleh saya beropini, kita sekarang ibarat berada di tahun 1928. Ibarat tahun 1928, kita perang pakai keris atau bambu, lawan pakai bedil. Hari ini kita perang di platform orang, bukan di platform kita sendiri, salah satunya Facebook, Instagram, Youtube, dan sebagainya," kata Slamet.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020