Jakarta (ANTARA News) - Pro-kontra Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan masih berlanjut. Beberapa kalangan menilai RUU itu diskriminatif.
"Menikah campur (menikah dengan laki-laki asing), aturan jaminannya harus jelas," kata Masruchah, Wakil Ketua Komnas Perempuan. Dia memberi contoh beberapa hal yang mengundang pro kontra karena diskriminatif.
Pernyataan itu disampaikan dalam diskusi "Membincang Rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan" di kantor Komnas Perempuan, jalan Latuharhary, Menteng Jakarta, Jumat.
Masruchah mencontohkan pasal 142 yang mengatur perkawinan perempuan Indonesia dengan laki-laki warga negara asing diskriminatif. "Kenapa hanya karena dia asing, dia harus memberi jaminan," kata dia.
Dalam pasal itu ditulis, "Calon suami yang berkewarganegaraan asing telah membayar uang jaminan sebesar Rp 500 juta rupiah kepada calon istri melalui bank syariah Indonesia". Menurut Masruchah peraturan itu menciptakan kesan bahwa laki-laki asing itu tidak baik, sehingga harus membayar jaminan bila dia sewaktu-waktu pergi meninggalkan istrinya.
Masruchah juga mempertanyakan apa yang akan terjadi dengan uang jaminan itu selanjutnya. Dia juga mempertanyakan mengapa harus melalui bank syariah. Menurut dia ada muatan kepentingan bagi kelompok tertentu yang diuntungkan.
Kritik lain yang disampaikan Masruchah adalah mengenai masalah monogami. "Dalam RUU tersebut poligami diatur, namun monogami tidak diatur," katanya.
Pasal 53 dalam RUU itu mengatur syarat-syarat seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari satu orang. RUU itu mengatakan, "pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila istri tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan atau terdapat alasan lain yang dibenarkan menurut hukum."
"Perempuan yang dinikahi secara siri adalah korban. Apakah dia akan mendapat hukuman pidana?," kata Masruchah mengenai pernikahan siri. Dia mengkritik pasal 143 yang berbunyi,"Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 6.000.000 atau hukuman kurungan paling lama enam bulan.
Dia mengatakan negara seharusnya mengatur kemudahan untuk orang miskin. Pendidikan di masyarakat juga perlu ditingkatkan. Tradisi menikah secara adat yang tidak dicatatkan juga perlu diubah.
Menurut Masruchah, orang-orang miskin memilih menikah siri karena tidak memiliki uang untuk menikah dan kurang berpendidikan. "Mereka tidak memahami pentingnya menikah di catatan sipil. Negara perlu mengatur dengan mencatatkan perkawinan mereka," kata Masruchah.(ENY/A038)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010