Purwokerto (ANTARA) - Awal musim penghujan telah tiba, rintik dan gerimis mulai sering mewarnai sejumlah wilayah di Tanah Air, menyisakan bulir di dedaunan serta tanah yang basah.
Kendati demikian tidak dapat dipungkiri bahwa musim hujan yang indah dan penuh berkah juga identik dengan peningkatan intensitas air yang akan berpengaruh terhadap kemungkinan bencana hidrometeorologi, terutama di wilayah yang rawan.
Bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang dipengaruhi oleh perubahan musim dan curah hujan, termasuk fluktuasi keberadaan air yang ada di dalamnya.
Kendati potensi bencana hidrometeorologi meningkat seiring musim penghujan, namun banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah atau melakukan upaya pengurangan risiko bencana.
Misalkan saja untuk mencegah banjir, banyak upaya yang dapat dilakukan, bukan hanya pada skala makro melainkan juga pada skala mikro.
Pakar Hidrologi dan Sumber Daya Air Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Yanto, Ph.D mengatakan bahwa upaya pencegahan banjir yang baik membutuhkan pendekatan yang sistemik, holistik dan biasanya berskala makro.
Kendati demikian, banyak juga cara-cara pencegahan banjir yang sederhana yang dapat dilakukan pada skala mikro atau level rumah tangga yang dapat melibatkan peran aktif masyarakat.
Baca juga: Komunitas lingkungan Buleleng buat biopori di tempat-tempat umum
Baca juga: BNPB ajak masyarakat buat biopori antisipasi banjir
Biopori
Secara prinsip, pencegahan banjir dilakukan dengan cara menjaga agar kemampuan saluran air lebih besar dari aliran air yang melaluinya atau sebaliknya, dengan cara membuat air yang mengalir, lebih kecil dari kemampuan saluran mengalirkan air.
Pada skala mikro, yaitu skala rumah tangga dan lingkungan sekitarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan normalisasi saluran air, memasang pipa resapan serta membuat sumur resapan dan biopori.
Normalisasi saluran air menjadi sangat efektif karena salah satu penyebab banjir yang sering terjadi adalah mengecilnya saluran akibat pendangkalan atau penyumbatan.
"Normalisasi saluran adalah upaya mengembalikan saluran pada kondisi semula. Hal ini dilakukan dengan menggali dasar saluran hingga mencapai kedalaman awal atau membersihkan saluran dari sampah-sampah yang teronggok di sepanjang saluran," katanya.
Perhatian yang lebih besar besar perlu diberikan pada gorong-gorong atau saluran-saluran yang tertutup karena sumbatan atau pendangkalan.
Selain itu, rumput-rumputan yang tumbuh di sepanjang dinding saluran air juga perlu menjadi perhatian, perlu dipotong agar air dapat mengalir dengan lancar.
Kendati demikian untuk saluran berdinding tanah, pemotongan rumput sebaiknya tidak dilakukan secara penuh guna mencegah terjadinya erosi samping pada dinding saluran.
Baca juga: Jaktim butuh 30 drainase vertikal untuk bebaskan jalan dari genangan
Baca juga: Drainase Kotagede Yogyakarta akan dilengkapi 100 sumur resapan
Sumur resapan
Sementara untuk mengurangi air yang mengalir di saluran, pipa resapan dapat dipasang di sepanjang dasarnya dan bagian dindingnya dibuat lubang-lubang untuk mengalirkan air.
"Pada ujung pipa disambung secara tegak lurus dengan pipa pendek untuk memasukkan air dari saluran ke pipa resapan. Pipa pendek dipasang searah dengan arah aliran. Pipa resapan kemudian ditanam di bawah dasar saluran," katanya.
Dengan keberadaan pipa resapan tersebut maka air yang masuk tidak dialirkan secara langsung ke dalam saluran melainkan dimasukkan ke pipa resapan terlebih dahulu lalu kemudian ke tanah.
Selanjutnya jika jumlah pipa resapan yang dipasang cukup banyak, maka air yang mengalir di dalam saluran akan jauh lebih kecil. Namun, yang perlu diperhatikan adalah muka air tanah di bawah saluran harus lebih dalam dari panjang pipa.
"Upaya mengurangi air yang mengalir ke saluran dapat juga dilakukan justru sebelum air masuk ke saluran. Yaitu pada lahan terbuka. Salah satunya dengan memasang sumur resapan atau sumur yang dibangun di atas muka air tanah yang dilengkapi dengan saluran pembawa yang mengalirkan air dari lahan terbuka ke dalam sumur," katanya.
Saluran pembawa yang ia maksud dapat berupa pipa yang dipasang secara horisontal dengan kemiringan tertentu di sekeliling sumur resapan. Setelah itu sumur resapan kemudian ditutup dengan penutup yang cukup kuat sehingga tidak membahayakan.
Dinding sumur resapan sendiri tidak hanya dapat dibuat dari beton namun juga dapat dibuat dari bahan lain. Misalnya bambu atau kayu. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahan tersebut harus mampu menahan tanah di sekeliling sumur resapan.
Selain itu tutup sumur juga dapat dirancang sedemikian rupa sehingga aman dan tidak membahayakan. Tapi yang penting untuk diperhatikan adalah sumur resapan sebaiknya dibuat pada tempat yang paling rendah dari lahan yang ada dan semua air yang jatuh di lahan tersebut dialirkan ke sumur resapan.
"Apabila lahan yang tersedia tidak terlalu besar maka biopori bisa menjadi pilihan lain," katanya.
Secara prinsip, biopori berupa lubang dalam tanah yang ditanami pipa dan diberi tutup yang dilubangi untuk memasukkan air ke dalam lubang biopori. Lalu di dalam biopori juga perlu dimasukkan daun-daun sebagai pengisi.
Selain mengalirkan air ke tanah, daun-daun pengisi biopori yang lama kelamaan membusuk dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemasangan pipa resapan, sumur resapan atau biopori adalah kondisi tanah. Karena cara-cara tersebut akan efektif jika dibuat pada tanah yang mampu meloloskan air dengan baik, yaitu tanah yang mengandung pasir.
Cara mengetahuinya cukup mudah. Yaitu dengan mengebor atau menggali tanah, lalu diambil sebagian dan diremas.
Jika makin mudah tanah lepas dari tangan setelah diremas, makin baik kemampuannya meloloskan tanah dan semakin cocok untuk dipasang sumur resapan atau biopori
Baca juga: Tinggi air Citarum mulai naik, BPBD minta warga Bandung siaga banjir
Baca juga: Pemkot Jaksel maksimalkan fungsi di Kali Krukut cegah banjir
Waspada bencana
Sementara itu, Koordinator bidang Bencana Geologi Pusat Mitigasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Indra Permanajati mengatakan upaya untuk mengurangi risiko bencana hidrometeorologi harus disinergikan dengan informasi dari BMKG sehingga penanganan bencana dapat menjadi lebih tepat.
Dengan kemajuan teknologi di bidang meteorologi dan klimatologi, maka teknik penanganan bencana akan dapat lebih tepat tertangani.
Dengan demikian perlu adanya sinergi antara berbagai pihak terkait agar strategi penanganan teknik bencana hidrometeorogi bisa dilakukan secara tepat sesuai informasi dari BMKG.
Anggota Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia itu juga mengatakan masyarakat sangat berperan strategis dalam upaya mitigasi bencana hidrometeorologi dengan cara mengatur keseimbangan alam di tengah perubahan iklim.
Dengan demikian pada saat musim hujan bisa dimanfaatkan untuk memperbanyak cadangan air melalui embung penampungan, pembuatan sumur resapan hingga penanaman tanaman konservasi baik di hulu ataupun di hilir.
Dengan demikian, kata dia, intensitas air yang berlebih pada musim penghujan diharapkan dapat digunakan sebagai cadangan pada saat musim kemarau nantinya.
Melalui berbagai upaya yang dilakukan, maka diharapkan upaya mitigasi bencana hidrometeorologi saat musim penghujan akan dapat menunjukkan hasil yang signifikan.
Karena jika dikembalikan kepada konsep awal tentang hujan, sebenarnya air hujan adalah berkah untuk manusia, karena air ini merupakan sumber kehidupan manusia.
Air hujan juga sangat bermanfaat serta dapat menjadi tabungan atau simpanan air di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau nantinya.
Sekarang tinggal bagaimana mengelolanya karena pada dasarnya manusia mempunyai peranan yang sangat penting untuk itu.*
Baca juga: Antisipasi longsor BPBD Lampung perkuat tebing dengan rumput vetiver
Baca juga: Petugas bersihkan pohon tumbang dan material longsor di jalur Gumitir
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020