"Penyakit terkait ban terus kita evaluasi, misalnya bibit-bibit atau kemungkinan terjadi insiden akan terus kita lakukan," kata Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti S. Gumay, kepada pers di Jakarta, usai Shalat Jumat.
Penegasan tersebut terkait dengan maraknya insiden pesawat pecah ban, sesaat setelah mendarat seperti apa yang dialami Lion Air pada 18 dan 24 Maret 2010.
Pada 8 Maret 2010, pesawat B737-400 sebelah kanan patah ketika mendarat di Bandara Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara sekitar pukul 10.25 WITA. Meski tidak ada korban terhadap 169 penumpang dalam peristiwa itu, sempat beredar isu, roda pendaratan utama sebelah kanan pesawat itu disebut-sebut sampai patah.
Namun, hal tersebut dibantah oleh Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait.
Kemudian, pada 24 Maret 2010, pesawat B737-900ER dengan 191 penumpang, juga mengalami pecah ban sebelah kiri dan tergelincir di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, sekitar pukul 11.33 WITA.
Herry menekankan, bahwa upaya investigasi internal terhadap dua peristiwa itu selama 10 hari ke depan.
"Mereka dikasih waktu 10 hari dan mereka punya `back up system` (sistim back up). Pilot harus baca `log book` mengenai standar penerbangan itu. Mereka harus setiap hari mengecek keselamatan," katanya.
Namun, Herry pada sisi lain mengakui, tidak menutup kemungkinan insiden seputar ban pesawat itu karena dipicu oleh salah faktornya yakni kondisi dan fasilitas bandara.
"Untuk di Indonesia Timur, salah satu faktornya dari fasilitas bandaranya. Kita minta AP I (PT Angkasa Pura) agar membenahi bandaranya," katanya.
(T.E008/B012/P003)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010