Jakarta (ANTARA) - Empat tahun silam, pada 8 November 2016, Donald Trump sukses mementahkan semua prediksi lembaga poling, media massa dan pengamat ketika dia mengalahkan Hillary Clinton yang selalu unggul dalam jajak pendapat.
Saat itu hampir semua jajak pendapat mengunggulkan Clinton, namun segelintir yang menolak kelaziman itu. Salah satunya adalah Allan Lichtman, profesor sejarah dari American University.
Lichtman menggunakan model 13 kunci yang di antaranya adalah soal bagaimana partai inkumben menguasai mayoritas kursi di DPR setelah pemilu sela. Waktu itu separuh dari 13 kunci Lichtman tersebut tidak berpihak kepada Hillary Clinton.
Lichtman berasumsi ketika separuh dari 13 kunci itu tidak berpihak kepada salah satu calon, maka calon yang satunya lagilah yang bakal menang. Dalam kata lain, siapa pun calon yang dimajukan oleh Demokrat saat itu tak akan menang menghadapi siapa pun calon yang ditawarkan Republik.
Lichtman benar. Trump mendapatkan 352 suara elektoral atau Electoral College, sebaliknya Clinton hanya mengumpulkan 173.
Baca juga: Donald Trump menang
Baca juga: Lima hal yang membuat Donald Trump menang
Omong-omong, pemilu AS ditentukan oleh konsep lembaga Electoral College yang saat ini beranggotakan 538 elector yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Kongres.
Kongres AS sendiri terdiri diri majelis tinggi Senat yang beranggotakan 100 senator dan majelis rendah DPR yang saat ini beranggotakan 438 anggota DPR.
Tidak seperti umumnya negara demokrasi langsung seperti Indonesia, pemilihan presiden AS diadakan tidak langsung karena kendati kertas suara berisi nama para calon presiden, pemilih sebenarnya mencoblos elector tiap negara bagian di mana si pemilih berada.
Setiap negara bagian mendapatkan jatah elector atau suara elektoral dalam Electoral College yang berbeda-beda. Besarnya jatah suara elektoral ini sesuai dengan jumlah penduduk negara bagian dan komposisinya bisa berubah mengikuti demografi penduduk di negara bagian itu.
Kembali ke soal Lichtman. Sekalipun prediksi dia benar, mayoritas jajak pendapat juga tak terlalu salah karena Clinton memang mendapatkan jumlah suara pemilih atau "popular vote" paling banyak.
Waktu itu Clinton unggul sampai selisih 3 juta suara. Tetapi karena yang dihitung adalah jumlah suara elektoral, bukan total suara pemilih atau popular vote itu, maka Trump yang meraih 352 dari total 535 suara elektoral waktu itu dinyatakan sebagai pemenang pemilu 2016.
Baca juga: Pendukung Hillary Clinton bereaksi atas hasil Pemilu 2016
Tetapi kini Lichtman menyatakan kebanyakan dari 13 kunci dalam metode jajak pendapatnya itu tidak lagi berpihak kepada Trump.
Dalam kaitan ini dia berasumsi presiden dari Partai Republik itu kemungkinan bakal menjadi presiden pertama AS sejak George H.W. Bush yang gagal memperebutkan masa jabatan keduanya di Gedung Putih.
Itu salah satunya karena faktor yang dulu menimpa Demokrat kini dialami Republik, yakni hasil pemilu sela yang disebut Lichtman sebagai salah satu indikator kunci dalam menentukan kemenangan seorang kandidat.
Pada pemilu sela 2014, Republik menang sehingga menjadi mayoritas menjelang pemilu 2016. Ironisnya hal itu kini dinikmati Demokrat yang pada pemilu sela 2018 menang sehingga menjadi pengendali DPR sampai kini. Jika indikator ini konstan, maka Trump akan kalah.
Baca juga: Demokrat rebut kendali dari Partai Republik di DPR Amerika Serikat
Baca juga: Peta politik AS pasca-Pemilu Sela 2018
Selanjutnya Agresif ...
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2020