Tujuan pemberian suap itu adalah agar Damayanti (mantan anggota Fraksi PDI Perjuangan) dan Amran mengupayakan agar Hong Arta mendapat paket proyek Program Aspirasi dari anggota Komisi V DPR RI di wilayah kerja BPJN IX Maluku dan Maluku Utara berdasarkan Daftar Isian Program dan Anggaran (DIPA) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun anggaran 2016.
Jaksa penuntut umum KPK Iskandar Marwanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu, menyebutkan terdakwa Hong Artha John Alfred bersama-sama dengan Abdul Khoir selaku Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama dan So Kok Seng alias Aseng selaku Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa memberi uang sejumlah Rp8 miliar, Rp2,6 miliar, dan Rp1 miliar yang masing-masing dalam bentuk dolar AS kepada Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota DPR 2014—2019 dan Amran Hi Mustary selaku Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara.
Baca juga: KPK panggil mantan Anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti
Pertama, pemberian uang sejumlah Rp8 miliar dalam bentuk dolar AS untuk Amran Hi Mustari ditujukan demi pengangkatan Amran sebagai Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara.
Awalnya pada tanggal 10 Juli 2015, konsultan PT Babilindo Internasional Zulkhaiari Muchtar alias Herry meminta bantuan Hong Arta dan Abdul Khoir membantu pembayaran kekurangan uang suksesi Amran selaku Kepala BPJN IX sejumlah Rp8 miliar.
Hong Arta, Abdul Khoir, Amran, Herry, dan mantan anggota DPRD Maluku Utara Imran S. Djumadil kemudian bertemu pada tanggal 12 Juli 2015 di Hotel Lumire Senen, lalu disepakati Hong Arta dan Abdul Khoir memberikan Rp8 miliar sebagai imbalan Amran akan mengupayakan keduanya mendapat paket proyek di wilayah kerja BPJN IX pada tahun 2016.
Uang Rp8 miliar diserahkan pada tanggal 13 Juli 2015 dalam bentuk dolar AS. Sumber uang berasal dari Hong Arta sejumlah Rp3,5 miliar dan dari Abdul Khoir sejumlah Rp4,5 miliar.
Uang diserahkan kepada Herry, lalu Herry menyerahkan Rp7 miliar kepada Imran, sedangkan Rp1 miliar diambil Herry.
Baca juga: KPK menahan Hong Artha tersangka korupsi proyek di Kementerian PUPR
Pada bulan Juli 2015, Abdul Khoir kembali memberikan Rp1 miliar kepada Amran sebagai uang pengganti kekurangan suksesi selaku Kepala BPJN IX.
Kedua, pemberian "dana satu pintu" sejumlah Rp2,6 miliar dalam bentuk dolar AS kepada Amran Hi Mustary untuk pengurusan paket proyek program aspirasi Komisi V DPR. Awalnya uang yang diminta Amran kepada Abdul Khoir sebesar Rp3 miliar.
Uang disepakati berasal dari beberapa sumber, yaitu Hong Arta, Abdul Khoir, Komisaris PT Cahaya Mas Perkara So Kok Seng alias Aseng, Komisaris PT Papua Putra Mandiri Henock Setiawan alias Rino yang memberikan masing-masing Rp500 juta untuk "dana satu pintu", sedangkan Direktur CV Putra Mandiri Charles Fransz alias Carlos memberikan Rp600 juta sehingga terkumpul Rp2,6 miliar.
Uang disetor ke rekening bank atas nama Erwantoro, sedangkan kekurangan uang akan diminta ke rekanan lain. Akan tetapi, ternyata tidak ada rekanan lain yang mau memberikan uang tambahan untuk melengkapi Rp3 miliar.
Uang lalu diserahkan Abdul Khoir kepada Amran Hi Mustary melalui Imran S. Djumadil pada tanggal 22 Agustus 2015.
Ketiga, pemberian uang Rp1 miliar kepada Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota Komisi V DPR RI untuk keperluan bantuan kampanye pemilihan kepala daerah di Jawa Tengah.
"Yang dilakukan dengan cara masing-masing akan memberikan uang sejumlah Rp330 juta yang akan dibayarkan lebih dahulu dengan menggunakan uang terdakwa," kata jaksa Iskandar.
Baca juga: Damayanti Wisnu Putranti divonis 4,5 tahun penjara
Hong Arta lalu mengirimkan uang Rp1 miliar ke rekening Erwantoro pada tanggal 26 November 2015. Setelah uang masuk, Abdul Khoir lantas meminta Erwantoro menukar uang itu menjadi dolar AS.
Erwantoro kemudian menyerahkannya kepada Damayanti melalui teman Damayanti, Dessy A. Edwin di depan lobi Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Ditjen SDA-PUPR).
Atas perbuatannya, Hong Arta didakwa berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No. 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang seseorang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020