Beberapa wartawan mengatakan bahwa Al-Shabaab, yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda, menutup sebuah stasiun radio di kota Kismayu, Somalia selatan, dan menguasai satu stasiun di Baydhaba, Somalia baratdaya.
"Mereka mengganti stasiun di Kismayu dengan radio yang mereka gunakan untuk siaran mereka. Dan mereka mengambil alih stasiun di Baydhaba," kata Omar Faruk Osman, sekretaris jendral Persatuan Nasional Wartawan Somalia.
"Ini penindasan terhadap kebebasan berekspresi dan hukum media," katanya.
Somalia termasuk negara paling mematikan bagi wartawan, dan enam orang tewas dalam kaitan dengan pekerjaan mereka pada tahun lalu, kata Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) yang berpusat di New York.
Wartawan dan pekerja bantuan asing juga berisiko diculik dengan tuntutan uang tebusan.
"Kami sangat khawatir atas gangguan dan intimidasi yang meningkat pada wartawan Somalia," kata Osman.
Pekan lalu, seorang direktur dan wartawan Radio Shabelle di Mogadishu, Ahmed Omar Salihi, ditahan sesaat oleh Al-Shabaab di Bardhere, di wilayah Gedo, dan dibebaskan setelah diperintahkan tidak menyiarkan apa pun mengenai pemerintah.
Osman menambahkan, Al-Shabaab juga menangkap dua wartawan lain di daerah Gedo, Somalia baratdaya.
Sebelumnya pekan ini, Al-Shabaab menangkap tiga wartawan di Somalia selatan, antara lain karena menyiarkan bahwa para sesepuh meminta pemerintah Somalia dan Kenya mengatasi keadaan tidak aman di perbatasan bersama mereka.
Mereka dibebaskan setelah ditahan beberapa hari. Al-Shabaab mengusir salah seorang dari mereka, Mahmed Salad Abdille -- wartawan untuk Somali Broadcasting Corporation dan Radio Somaliweyn di Mogadishu dan Bosasso -- dari markas mereka.
Washington menyebut Al-Shabaab sebagai sebuah organisasi teroris yang memiliki hubungan dekat dengan jaringan al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Milisi garis Al-Shabaab dan sekutunya, Hezb al-Islam, berusaha menggulingkan pemerintah Presiden Sharif Sheikh Ahmed ketika mereka meluncurkan ofensif mematikan pada Mei tahun lalu.
Mereka menghadapi perlawanan sengit dari kelompok milisi pro-pemerintah yang menentang pemberlakuan hukum Islam yang ketat di wilayah Somalia tengah dan selatan yang mereka kuasai.
Al-Shabaab dan kelompok gerilya garis keras lain ingin memberlakukan hukum sharia yang ketat di Somalia dan juga telah melakukan eksekusi-eksekusi, pelemparan batu dan amputasi di wilayah selatan dan tengah.
Somalia dilanda pergolakan kekuasaan dan anarkisme sejak panglima-panglima perang menggulingkan diktator militer Mohamed Siad Barre pada 1991. Penculikan, kekerasan mematikan dan perompakan melanda negara tersebut.
Sejak awal 2007, gerilyawan menggunakan taktik bergaya Irak, termasuk serangan-serangan bom dan pembunuhan pejabat, pekerja bantuan, intelektual dan prajurit Ethiopia.
Ribuan orang tewas dan sekitar satu juta orang hidup di tempat-tempat pengungsian di dalam negeri akibat konflik tersebut.
Pemerintah sementara telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan sejumlah tokoh oposisi, namun kesepakatan itu ditolak oleh Al-Shabaab dan kelompok-kelompok lain oposisi yang berhaluan keras.
Pemerintah transisi hanya menguasai sejumlah kecil wilayah di Mogadishu, ibukota Somalia, dan sisanya dikuasai Al-Shabaab yang diilhami Al-Qaeda dan kelompok lebih politis Hezb al-Islam.
Gerilyawan muslim garis keras, yang meluncurkan ofensif sejak 7 Mei untuk menggulingkan pemerintah sementara dukungan PBB yang dipimpin oleh tokoh moderat Sharif Ahmed, meningkatkan serangan-serangan mereka.
Tiga pejabat penting tewas dalam beberapa hari sejak itu, yang mencakup seorang anggota parlemen, seorang komandan kepolisian Mogadishu dan seorang menteri yang terbunuh dalam serangan bom bunuh diri.
Selain pemberontakan berdarah, pemerintah Somalia juga menghadapi rangkaian perompakan di lepas pantai negara Tanduk Afrika itu. (M014/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010