"Indonesia harus dominan di sini. Harus punya kekuatan tawar dalam kepemilikan data hasil riset," kata Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, Arif Satria, di Bogor, Kamis.
NOAA adalah sistem stasiun bumi satelit polar untuk keperluan akuisisi, pengarsipan, dan pengolahan data.
Jika posisi Indonesia lemah dalam hal hasil riset bersama kelautan tersebut, menurut dia, harus dirundingkan ulang.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa niat kerjasama riset tersebut juga perlu diperhatikan, apakah sekedar meneliti keanekaragaman hayati atau ada hal lain yang akan diteliti.
Keuntungan dari kerja sama riset dengan NOAA sendiri, menurut dia, adalah ketersediaan teknologi terkini yang memungkinkan penelitian dasar laut Indonesia dilakukan, mengingat Indonesia belum memiliki teknologi canggih yang memadai.
"Yang penting jika memang akan diteliti juga kandungan mineral di bawah laut Sulawesi Utara, jangan sampai kelanjutannya ada keterpaksaan untuk menyerahkan investasi di sana begitu saja," ujar dia.
Untuk itu, menurut dia, posisi Indonesia seharusnya dominan dalam memiliki data yang dihasilkan dari riset tersebut.
Sementara itu, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Syamsul Maarif mengatakan, kerja sama dengan NOAA menguntungkan guna mengetahui keanekaragaman hayati laut Sulawesi Utara.
Ia juga mengatakan bahwa kepemilikan data hasil penelitian akan dibagi bersama. Artinya Indonesia dan Amerika Serikat akan memiliki data yang sama.
Pada pertemuan Menteri Kelautan dan Perikanan dengan perwakilan NOAA sebelumnya sempat disebutkan bahwa riset akan dilakukan kapal riset canggih NOAA bernama Okeanos, yang akan mengeksplorasi utara laut Sulawesi Utara bersama kapal riset Indonesia Baruna Jaya pada pertengahan tahun 2010.
(V002/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010