Bahkan, dalam tata tertib muktamar terkait pencalonan ketua umum PBNU, diputuskan bahwa calon tidak boleh berasal dari organisasi yang dianggap memiliki paham yang bertentangan dengan paham NU yakni ahlussunah wal jamaah.
Persyaratan itu kemungkinan akan mengganjal niat Ulil untuk mencalonkan diri mengingat JIL dianggap bertentangan dengan paham NU tersebut.
"Saya ini aswaja, liberal itu hanya pendekatan," kata menantu KH Musthofa Bisri (Gus Mus) itu.
Bahkan, kata Ulil, meski ia lulusan Amerika Serikat, ia lebih suka mengoleksi dan membaca kitab-kitab klasik (kitab kuning) daripada buku-buku yang disebutnya "kitab putih".
"Bacaan saya tiap hari lebih banyak kitab kuning daripada kitab putih. Saya lebih suka kitab klasik karena lebih menantang pemikiran. Lebih suka buku al Ghazali daripada Hartono Ahmad Jais atau Adian Husaini," katanya.
Ulil mengatakan, sosok yang membuatnya menjadi berpikiran terbuka justru KH Sahal Mahfudh, kiainya ketika mondok di Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa Tengah.
"Beliau juga yang mengenalkan saya pada pemikiran Islam Timur Tengah, memperkenalkan bahasa Arab modern yang lebih kaya melalui kitab-kitab yang beliau pinjamkan," katanya.
Menurut Ulil, banyak anak muda NU yang memiliki pemikiran sama dengan dirinya, dan mereka seharusnya ditampung di NU sehingga lebih mudah dikoreksi jika dianggap salah.
"Ketimbang pemikiran anak muda NU dibuang keluar lebih baik ditampung di dalam. Jangan takut pemikiran, mari kita tampung dan koreksi pelan-pelan," katanya.
Kesempatan dialog itu dimanfaatkan betul oleh peserta muktamar, terutama dari luar Jawa, yang mungkin juga baru bertemu Ulil untuk pertama kali.(S024/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010