Makassar (ANTARA News) - Agenda suksesi kepemimpinan selalu memiliki daya tarik paling kuat dalam setiap muktamar Nahdlatul Ulama (NU), tak terkecuali muktamar ke-32 di Makassar, Sulawasi Selatan.
Suksesi kepemimpinan di NU meliputi jabatan rais aam atau pemimpin tertinggi yang berkedudukan di lembaga syuriah dan ketua umum yang memimpin jajaran eksekutif organisasi atau tanfidziyah.
Dalam sejarah muktamar NU, suksesi di jajaran tanfidziyah senantiasa lebih "seksi" dibanding suksesi di jajaran syuriah yang boleh dikata menggunakan pola urut kacang sesuai senioritas.
Dalam tradisi NU, rais aam selalu dijabat kiai senior yang mumpuni penguasaannya di bidang ilmu agama dan memiliki kharisma kuat.
Karena itu, untuk jabatan rais aam nyaris tidak pernah diperebutkan secara terbuka, apalagi harus melalui pemilihan yang menunjukkan kuat-kuatan pendukung.
Hal sebaliknya berlaku pada pemilihan ketua umum tanfidziyah. Pemilihan ketua umum hampir selalu membuat panas suhu muktamar akibat persaingan antarkandidat.
Muktamar NU di Situbondo pada 1984 dan di Cipasung pada 1994 boleh dibilang sebagai muktamar "terpanas" dalam perjalanan sejarah NU.
Muktamar di Situbondo "panas" akibat persaingan kelompok Cipete yang dipimpin KH Idham Cholid dengan kelompok Situbondo yang dipimpin KH As`ad Syamsul Arifin.
Sedangkan muktamar di Cipasung "membara" karena kuatnya intervensi pemerintah Orde Baru yang ingin menempatkan Abu Hasan sebagai ketua umum, namun mendapat perlawanan keras dari muktamirin.
Di kedua muktamar itu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu pendiri NU KH Hasyim Asyari, terpilih sebagai ketua umum.
Namun, muktamar di Makassar kali ini justru menunjukkan situasi yang berbeda. Suksesi di jajaran syuriah atau pemilihan rais aam justru lebih menarik perhatian.
KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, rais aam incumbent, mendapat pesaing yang cukup kuat yakni KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU periode 1999-2004 dan 2004-2009.
Jika menilik tradisi pemilihan rais aam, Sahal yang lebih senior tentunya "lebih berhak" dan lebih berpeluang menempati jabatan itu kembali dibanding Hasyim.
Namun, dinamika yang terjadi di muktamar kali ini tampaknya berpeluang mengubah tradisi itu. Meski lebih junior, Hasyim mendapat dukungan tak sedikit, bahkan diklaim mayoritas, dari pengurus wilayah dan cabang NU selaku pemilik suara.
"Ada semangat untuk menjadikan lembaga syuriah lebih kuat peranannya, tak sekedar sebagai simbol. Untuk itu, dibutuhkan sosok yang kuat sebagai rais aam," kata tokoh NU Taufikurrahman Saleh di sela-sela muktamar, Kamis.
Beberapa hari sebelum muktamar digelar, Rais Syuriah PWNU Jawa Timur KH Miftahul Ahyar pun menyatakan hal yang sama.
NU ke depan, kata kiai kahrismatis asal Surabaya itu, membutuhkan pemimpin yang enerjik mengingat tantangan yang dihadapi NU semakin kompleks.
"PWNU Jawa Timur ingin rais aam yang enerjik dan mau turun ke bawah menyapa syuriah-syuriah di bawah yang saat ini merasa seperti anak ayam kehilangan induknya," katanya.
Menurutnya, saat ini begitu banyak persoalan di tingkat akar rumput yang membutuhkan perhatian serius dari pimpinan NU, termasuk adanya upaya pengaburan aqidah "ahlussunah wal jamaah" yang dianut NU oleh pihak lain.
Dengan turun langsung ke lapangan, kata Miftahul, maka rais aam akan tahu persis persoalan yang dihadapi NU sehingga mampu menjawab berbagai persoalan itu secara jitu.
"Ibarat seorang dokter yang tahu persis penyakit yang diderita pasiennya lalu diberi obat yang mujarab. Saat ini ibaratnya pasien yang sedang sakit tifus hanya diberi obat penurun panas sementara," katanya.
Kelompok pendukung Hasyim menginginkan kepemimpinan di syuriah ke depan lebih bersifat kolektif kolegial, bukan personal yang mengerucut pada rais aam.
Mereka pun berharap lembaga syuriah ke depan tidak hanya diisi ahli agama, namun juga ahli-ahli lain yang mumpuni di bidang masing-masing, seperti pendidikan, ekonomi, bahkan tata negara.
"Dengan demikian, PBNU dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat dalam menghadapi berbagai persoalan, dan kebijakan itu datang dari syuriah," kata Wakil Sekjen PBNU Syaiful Bahri Anshori.
Sebaliknya, pihak yang ingin mempertahankan tradisi menganggap pemilihan rais aam melalui pemungutan suara akan menjadikan NU kehilangan nilai khasnya, bahkan tak ada bedanya dengan partai politik.
"Posisi rais aam itu sangat penting untuk menjaga kewibawaan NU. Jadi, rais aam harus seorang ulama yang kharismatik, memiliki tingkat keilmuan tinggi, dan tidak bisa dibeli," katanya.
Untuk itu, lanjutnya, dalam menentukan sosok rais aam sebaiknya tidak melalui pemilihan langsung, tetapi melalui musyawarah kiai-kiai sepuh atau senior.
Kelompok tarekat bahkan terang-terangan meminta Hasyim Muzadi tidak maju sebagai calon rais aam dan mengancam akan membawa organisasi mereka keluar dari NU jika Hasyim terpilih sebagai rais aam.
"Kita ada adat istiadat di NU. Jadi manakala ada yang masih lebih tua, tua ilmunya, tua pengetahuannya, sebaiknya mengarah ke sana. kecuali kalau orang-orang tua tadi sudah memberi jalan, silakan. Jadi kita hanya mau adat dijalankan," kata Sekjen Pengurus Pusat Perkumpulan Taraket Muktabarah An-Nahdliyyah KH Masroni Muhammad. (*)
S024/T010
Oleh Sigit Pinardi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010