"Kalau sikapnya seperti itu, bukan karena Indonesia, tapi ada alasan kenapa mereka melakukan itu. Dan itu terjadi di beberapa negara lain, sebabnya harus ditelaah kembali," katanya di Jakarta, Rabu.
Namun Gita menyatakan Indonesia siap mengadakan pembicaraan khusus dengan Barclays jika dibutuhkan. "Belum ada (rencana ke situ). Tapi kalau kami ditugaskan siap saja," ujarnya.
Barclays Capital membuka kantor cabang di Jakarta sejak 2005, kemudian pada 2009 mengakuisisi PT Bank Akita, bank swasta bergerak di bidang ritel dan komersial yang memiliki 10 outlet di tiga kota besar di Indonesia.
Selasa kemarin Barclays Plc memutuskan menghentikan unit bisnis ritel bankingnya di Indonesia dan menutup Bank Akita.
Barclays mengakui telah melakukan ekspansi secara agresif, namun siklusnya kurang tepat.
Sejak dua tahun lalu, Barclays juga menjadikan India, Pakistan, Rusia dan Arab Saudi sebagai basis pengembangan unit ritel banking.
Meski Barclays menarik investasinya di Indonesia, perbankan asing menilai industri perbankan Indonesia masih potensial untuk berkembang lebih besar lagi.
"Indonesia adalah negara yang dalam 10 tahun terakhir telah melakukan perbaikan kebijakan moneter dan fiskal. Indonesia adalah satu `bintang` diantara negara lain. Itu tercermin dalam kondisi nilai tukar yang stabil dalam dua hingga tiga tahun terakhir," ujar Chief Executive Officer HSBC Indonesia Rakesh Bhatia.
Ia mengatakan pasar obligasi dan saham Indonesia masih menjadi incaran investor asing, salah satunya perbankan syariah yang produknya semakin diminati investor.
"Tinggal tergantung kemanan pasarnya. Bank lokal maupun asing bisa memainkan peran besar dalam realisasi proyek investasi di Indonesia," ujarnya.
Ia menggambarkan peluang besar tumbuhnya industri perbankan terlihat dari masih rendahnya rasio kredit per GDP di Indonesia dibandingkan negara-negara "emerging market" lainnya. (*)
E014/AR09
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010