Makassar (ANTARA News) - Langkah aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla untuk maju dalam bursa calon Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan terganjal dengan dikoreksinya Pasal 22 Tata Tertib Muktamar ke-32 di Makassar.
Koreksi yang dilakukan saat sidang pleno pembahasan tata tertib pada Selasa (23/3) malam, yakni menambahkan kalimat pada ayat 3 "tidak menjadi pengurus organisasi masyarakat yang bertentangan dengan nilai perjuangan NU dan atau terlibat baik secara langsung maupun tidak dengan Jaringan Islam Liberal."
Menanggapi hal itu, salah satu bakal calon ketua umum, KH Masdar Farid Mas`udi menyatakan, bahwa jika memang ada figur yang dinilai memiliki pemikiran liberal, sebaiknya dilakukan tabayyun atau klarifikasi.
Figur yang dimaksud sebaiknya dipanggil langsung oleh Dewan Suriah untuk dimintai keterangan, bukan dengan cara diganjal melalui aturan. Permasalahan seperti itu sebaiknya diselesaikan dengan cara ilmiah dan tidak dibawa ke ranah politis.
Jika sudah diklarifikasi hal tersebut dan terbukti, maka Dewan Suriah memerintahkan figur yang dimaksud untuk melakukan taubat. PBNU kemudian berhak lepas tangan jika kemudian taubat itu tidak dilakukan.
"Sebenarnya tidak pantas mencantumkan kalimat tambahan itu, karena pemikiran itu sifatnya ilmiah. Dewan Suriah sebagai otoritas keagamaan harus melakukan itu, karena kalau tidak, maka koreksi itu akan bernilai politis," katanya.
Sementara itu, terkait dengan pencalonan dirinya, KH Masdar mendeklarasikan diri dengan meluncurkan buku berjudul "Menyongsong Satu Abd NU 2026."
Menurutnya, buku tersebut adalah pemikiran-pemikirannnya terhadap pengembangan NU kedepan, yang berisi peta untuk perbaikan dan kejayaan bukan hanya NU tapi juga bangsa Indonesia.
"NU merupakan bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia, oleh karena itu posisi NU adalah sebagai jangkar bagi bangsa. NU adalah Rahmatan lil alamiin bagi Indonesia," ujarnya.
NU, kata dia, memiliki beberapa agenda ke depan. Yakni harus murni melayani umat dan tidak terlibat politik praktis. NU juga harus memperkokoh posisinya sebagai komunitas madani penjaga moral bangsa.
NU bisa mengusung politik, asal politik kebangsaan yang binneka dan politik kerakyatan. Politik kerakyatan NU adalah mempengaruhi kebijakan politik pemerintah agar pro terhadap rakyat."Untuk bisa seperti itu, NU harus bebas dari politik praktis," ujarnya.(KR-AAT/S016)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010