Surabaya (ANTARA News) - "Ya, saya grogi dan sering minta diulang untuk dibacakan soalnya, karena pertanyaan untuk soal Bahasa Indonesia cukup panjang dan jawabannya juga mirip-mirip, sehingga susah mengingatnya".
Pernyataan itu diungkapkan penyandang tunanetra Riski Nurilawati yang mengikuti UN bersama seorang guru pendamping di ruang inklusi (XII-IPS-1) di SMAN 10 Surabaya (22/3).
"UN dengan soal yang dibacakan itu memang mempercepat saya dalam pengerjaan soal UN, tapi dirinya lebih senang dengan soal dalam huruf braile," kata anak keempat dari empat bersaudara asal Mulyorejo, Surabaya itu.
Tapi, kata alumni SMP YPAB Gebang, Surabaya itu, bila UN memakai huruf braile memang akan memakan waktu lama.
"Kalau boleh, sebaiknya memang kedua cara itu (braile dan dibacakan) dipakai, karena dengan baca sendiri akan lebih mantap," ucapnya.
Ketika ditanya kemungkinan perlu tambahan waktu bagi penyandang cacat dalam UN 2010, gadis kelahiran Surabaya pada 20 Januari 1992 itu mengaku segan.
"Mungkin nggak ya, karena kakak kelas yang cacat juga nggak ada tambahan waktu," kata Riski yang ingin melanjutkan kuliah ke Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.
Kendati cacat, Riski merasa mengerjakan soal UN untuk hari pertama (22/3) dan 50 soal Bahasa Indonesia terjawab semuanya.
"Insya-Allah, bisa, meski dalam try out ada sebagian dari enam mata pelajaran yang diujikan dalam UN itu saya tidak lulus," tutur pelajar yang ingin melanjutkan ke Pendidikan Luar Biasa di Unesa itu.
Riski tidak sendiri, karena di SMAN 10 Surabaya juga ada penyandang tunarungu yakni Ningsih Wardani yang mengikuti UN di ruang 08 bersama pelajar lain.
"Bagi saya, belajar dalam satu sekolah dengan pelajar lain dalam SMA yang bukan SMA Luar Biasa itu penting, meski awalnya saya juga susah," paparnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan orang tua yang memiliki anak yang cacat dan sekolah di SD dan SMP Luar Biasa, maka sebaiknya disekolahkan di SMA yang "normal."
"Awalnya memang susah, tapi akhirnya juga enak, karena berada dalam sekolah inklusi (sekolah yang menggabungkan anak cacat dan normal) itu penting untuk penyandang cacat sendiri agar kelak dapat bersosialisasi dan tidak malu," kilahnya.
Pandangan Riski itu dibenarkan Kepala SMAN 10 Surabaya Drs H.M. Sukron AP., M.M.
"Keduanya memang sekolah di SMAN 10 Surabaya sejak kelas satu, karena kami ditunjuk Dinas Pendidikan Kota Surabaya sebagai sekolah inklusi yang menerima penyandang cacat," katanya.
Untuk itu, katanya, Riski mengikuti UN dengan soal ujiannya dibacakan oleh pendampingnya yang kebetulan guru bimbingan dan konseling (BK), sedangkan Ningsih dengan pendamping bahasa isyarat.
"Khusus Ningsih sebagai penyandang tunarungu dibebaskan untuk ujian `listening` Bahasa Inggris," kata kepala sekolah yang menerima 13 guru SMA Luar Biasa untuk mengajar di sekolah yang dipimpinnya.
Untuk Riski, katanya, dirinya sudah sempat mengusulkan kepada Dinas Pendidikan Kota dan Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta untuk disediakan soal UN dalam huruf braile.
"Tapi, waktunya mepet (sempit)," kata kepala sekolah yang 232 siswanya mengikuti UN 2010.
Jika Riski yang cacat mampu menyelesaikan soal UN pada hari pertama yakni Bahasa Indonesia, maka bagaimana dengan pelajar SMAN 10 Surabaya yang tidak cacat?
"Saya menjawab 50 soal yang diujikan, tapi ada sekitar 35 persen yang agak sulit, terutama mata pelajaran kelas satu, seperti tentang puisi, majaz, dan semacamnya," kata Inneke Permatasari, pelajar asal Margorejo, Surabaya.
(T. ANT/P003)
Oleh Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010