Jika dikelola secara baik, pengunjung bisa memancing dan menikmati ikan yang ada di kawasan KJA
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Muhammad Syafrudin menyebut bahwa pengelola Keramba Jaring Apung (KJA) untuk budidaya perikanan juga bisa disinergikan dengan sektor pariwisata agar bisa menjadi salah satu lokasi wisata bahari.
"Saya menginginkan adanya KJA yang sangat bagus, tidak hanya KJA yang memelihara ikan tapi juga mengelola wisata, karena itu akan menambah income (penghasilan) bagi masyarakat yang mengelola," kata M Syafrudin dalam rilis, Sabtu.
Menurut dia, alangkah baiknya bila pengelolaan KJA di sejumlah daerah disertai dengan inovasi pemasaran dan wisata di sektor perikanan dan kelautan dengan melibatkan masyarakat setempat, sehingga bisa meningkatkan sumber perekonomian warga.
Baca juga: KKP bahas persoalan keramba jaring apung lepas pantai Perinus
Baca juga: DPR soroti permasalahan proyek Keramba Jaring Apung lepas pantai
Apalagi, ia mengingatkan bahwa perairan umum Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa dengan luas tak kurang dari 54 juta hektare yang meliputi danau, waduk, sungai, rawa, dan genangan air lainnya, diperkirakan dapat menghasilkan 0,9 juta ton ikan per tahun.
Selanjutnya, ada pula potensi perikanan budidaya air payau atau tambak seluas 1,3 juta ha, dan perikanan budidaya air tawar seluas 2,2 juta ha, yang terdiri dari kolam seluas 526,40 ribu ha serta perairan umum seperti danau, waduk, sungai dan rawa seluas 158,2 ribu ha, dan sawah untuk minapadi seluas 1,55 juta ha.
Ia berpendapat bahwa inovasi pemasaran disertai dengan wisata yang melibatkan masyarakat akan sangat berdampak positif bagi perekonomian masyarakat di sekitar daerah KJA.
"Jika dikelola secara baik, pengunjung bisa memancing dan menikmati ikan yang ada di kawasan KJA tersebut," ucapnya.
Sebelumnya, pengamat sektor kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menyatakan skema perizinan yang akan dibuat untuk kawasan pulau-pulau kecil dan pesisir jangan sampai mendahulukan prinsip komersialisasi dan privatisasi.
"Jangan sampai menempatkan masyarakat di nomor kedua setelah pengusaha," kata Abdul Halim dalam diskusi daring bertajuk "Merencanakan Pembangunan Pesisir yang Berkeadilan" di Jakarta, Rabu (14/10).
Baca juga: Jumlah keramba jaring apung di Waduk Jatiluhur tak terkendali
Menurut Abdul Halim, bila proses perizinan dan pengelolaan usaha kelautan dan perikanan terus mengedepankan konsep komersialisasi dan privatisasi, konflik berpotensi akan terus terjadi.
Ia berpendapat dalam dokumen terkait dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang mengatur tata ruang laut, ada semangat kental yang lebih mendahulukan investasi di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bila hal tersebut dilakukan, lanjutnya, maka bisa saja terjadi eksklusi atau pengeluaran masyarakat dari pulau-pulau kecil terluar.
Abdul Halim mengemukakan bahwa kepala daerah memiliki peran yang signifikan untuk peta jalan pembangunan daerah pesisir, tetapi sayangnya dengan Omnibus Law maka sejumlah kewenangan yang ada di daerah bakal ditarik ke pusat.
Baca juga: KLHK harapkan warga kurangi keramba jaring apung di Danau Maninjau
Baca juga: KKP gelar pelatihan pengelolaan wisata bahari
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020