Semarang (ANTARA) - Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja merupakan suatu keniscayaan, apalagi sejak draf rancangan undang-undang disampaikan Presiden ke DPR (12 Februari 2020) hingga disampaikan pimpinan DPR kepada Presiden (14 Oktober 2020) muncul banyak versi.
Di tengah pembahasan antara DPR RI dan Pemerintah, muncul sejumlah versi draf di media sosial, seperti draf RUU Cipta Kerja versi 1.028 berisi 15 bab dan 174 pasal; versi 905 pasal terdiri atas 15 bab dan 186 pasal; dan terakhir versi 812 halaman meliputi 15 bab dan 186 pasal.
Di dalam versi 812 halaman ada nama Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin. Di dalamnya, ada pula penjelasan bahwa RUU tentang Cipta Kerja di atas beserta penjelasannya telah mendapat persetujuan dalam Rapat Paripurna Ke-7 DPR RI pada Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020—2021 pada tanggal 5 Oktober 2020 untuk disahkan menjadi undang-undang.
Akan tetapi, menjelang penyampaian naskah akhir RUU Cipta Kerja kepada Presiden terjadi kesimpangsiuran perihal jumlah halaman. Pada hari Senin (12/10) Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menyebutkan draf final berisi 1.035 halaman.
Pernyataan Sekjen DPR RI itu disiarkan ANTARA pada tanggal 12 Oktober 2020 pukul 15.45 WIB dengan judul "Draf final RUU Cipta Kerja 1.035 halaman difinalkan dulu".
Selang sehari, Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dan Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas menjawab kesimpangsiuran mengenai jumlah halaman UU Cipta Kerja.
Baca juga: Pakar: UU Cipta Kerja hilangkan ego sektoral
Baca juga: Politikus Golkar sebut UU Ciptaker akan berdampak pada deregulasi
Azis Syamsuddin menjelaskan bahwa UU Cipta Kerja yang resmi hanya berisi 488 halaman. Namun, apabila ditambah dengan jumlah halaman penjelasan UU ini total-nya menjadi 812 halaman.
Dalam berita ANTARA berjudul "Ini alasan draf final UU Cipta Kerja 812 halaman menurut DPR" pada tanggal 13 Oktober 2020 pukul 18.19 WIB, ditegaskan pula bahwa pengeditan draf UU Cipta Kerja tidak akan ubah substansi apa pun.
Setidaknya, penjelasan Azis Syamsuddin terkait dengan berkurangnya 223 halaman dalam naskah final RUU Cipta Kerja lepas dari pusaran fitnah.
Apalagi, ada jaminan tidak mengubah substansi yang sudah disepakati dalam Rapat Panitia Kerja RUU Cipta Kerja dan rapat paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020.
Agar kelak tidak menimbulkan pertanyaan publik, alangkah baiknya setiap naskah RUU sudah mengikuti ketentuan yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.15/2019.
Dalam Lampiran II Nomor 284 UU No. 12/2011 disebutkan bahwa naskah peraturan perundang-undangan diketik dengan jenis huruf bookman old style, dengan huruf 12, di atas kertas F4.
Sosialisasi secara masif
Dalam suatu pembahasan rancangan undang-undang, mulai rancangan awal hingga Rapat Paripurna DPR RI yang menyetujui pengesahan RUU menjadi undang-undang, tentu ada mengalami perubahan, baik substansi maupun jumlah bab dan pasal.
Misalnya, naskah awal RUU Cipta Kerja yang disampaikan Presiden ke DPR RI, 12 Februari 2020, masih terdapat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; UU No. 20/2003 tentang Pendidikan Nasional; UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen; UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi; UU No. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran; UU No. 4/2019 tentang Kebidanan; dan UU No. 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.
Setelah pembahasan tingkat pertama Panitia Kerja RUU Cipta Kerja, 3 Oktober 2020, tujuh undang-undang itu dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Hal ini sudah diinformasikan kepada publik.
Dalam draf versi 905, Paragraf 12 (vide halaman 392) Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 65 terdiri dua ayat, yaitu:
(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pada versi 812 halaman tidak mengalami perubahan (vide halaman 313). Namun, di dalam Rancangan Penjelasan RUU Cipta Kerja (halaman 672—673), Pasal 65 ada penjelasan sebagai berikut:
Ayat (1): Yang dimaksud dengan kata "dapat" dalam ketentuan ini pada dasarnya kewajiban memenuhi perizinan berusaha tidak berlaku pada sektor pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus yang diatur tersendiri.
Undang-undang ini menganut prinsip bahwa pengelolaan satuan pendidikan bersifat nirlaba sehingga tidak dapat disamakan dengan pengelolaan kegiatan usaha. Dengan demikian perlakuan, persyaratan, dan proses izin yang diperlukan oleh satuan pendidikan untuk kegiatan operasional-nya tidak dapat sama dengan perlakuan, persyaratan, dan proses perizinan berusaha untuk kegiatan yang dapat bersifat laba.
Ketentuan izin untuk satuan pendidikan tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang pendidikan:
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran;
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Undang-undang tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi satuan pendidikan tersebut termasuk satuan pendidikan nonformal yang dikelola oleh masyarakat melakukan proses izin melalui sistem perizinan berusaha sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Ketentuan pasal ini memberikan ruang bagi pengelola satuan pendidikan secara suka rela untuk dapat menggunakan proses sistem perizinan berusaha antara lain untuk proses kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan standar bangunan gedung.
Untuk pengelolaan satuan pendidikan cukup dengan proses yang telah ada sehingga tidak dilakukan melalui sistem perizinan berusaha yang diatur dalam undang-undang ini.
Baca juga: Apeksi bentuk tim khusus untuk perumusan aturan turunan UU Ciptaker
Baca juga: Penggugat UU Cipta Kerja ke MK bertambah
Sebagai contoh bahwa untuk pendirian pesantren telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang mengatur bahwa pendirian pesantren hanya dengan mendaftarkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sehingga dengan demikian pendirian pesantren tidak berlaku kewajiban untuk menggunakan sistem perizinan berusaha dalam undang-undang ini.
Tidak dikomersialisi
Apa yang ada di dalam penjelasan RUU itu intinya hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam konferensi pers secara virtual dari Istana Kepresidenan RI, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/10) petang.
Presiden Jokowi mengatakan, "Ada juga berita mengenai UU Cipta Kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan. Ini juga tidak benar karena yang diatur hanyalah pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus (KEK), sedangkan perizinan pendidikan tidak diatur di dalam UU Cipta Kerja ini, apalagi perizinan untuk pendidikan di pondok pesantren."
Presiden lantas menegaskan, "Itu tidak diatur sama sekali dalam UU Cipta Kerja ini, dan aturannya yang selama ini ada tetap berlaku."
Untuk meminimalkan tingkat hoaks di media sosial, sosialisasi sebuah rancangan undang-undang perlu sejak awal, mulai penyampaian RUU ke DPR RI, pembahasan tingkat pertama, hingga tingkat kedua (rapat paripurna).
Dengan demikian, draf suatu RUU bisa diakses publik sehingga mereka tahu ada perubahan substansi atau tidak. Di sisi lain, masyarakat akan mengetahui draf mana yang hoaks dan mana yang sesuai dengan pembahasan RUU di DPR RI.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah pengetikan naskah draf suatu RUU menggunakan jenis huruf dan ukuran huruf serta kertas sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dengan mematuhi ketentuan tersebut, kemungkinan kecil menimbulkan fitnah ketika halamannya bertambah atau berkurang setelah pengeditan naskah suatu RUU.
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020