Jakarta (ANTARA) - Dengan sejarahnya yang panjang sejak jaman kerajaan hingga pengakuan organisasi PBB UNESCO sebagai warisan budaya negara kita, batik sudah sepatutnya menjadi salah satu identitas Indonesia, khususnya dalam industri fesyen meskipun masih banyak yang perlu dilakukan oleh para pegiatnya di seluruh negeri.

Meskipun batik sudah cukup dikenal di dunia berkat upaya berbagai pihak terutama pemerintah, menguatkan dan mempertahankannya sebagai ciri khas Indonesia tidak lah akan mudah mengingat produk sejenis juga bisa ditemukan di beberapa negara Asia lainnya—sebut saja Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran—, bahkan Afrika.

Bukan tidak mungkin, negara lain yang juga memiliki “batik” untuk mengembangkan produk tekstil ini, berinovasi, dan sama-sama mengincar pasar fesyen dunia dengan karyanya itu. Batik Indonesia yang dikenal mempunyai kekhususan baik dalam corak atau desain hingga pembuatannya harus terus dipertahankan melalui peningkatan kualitas, promosi, dan pemasarannya.

Meski sudah sangat membudaya sebagai pakaian resmi dalam setiap kesempatan acara-acara pesta pernikahan hingga kegiatan-kegiatan penting kenegaraan di dalam negeri, batik sepertinya belum menjadi pakaian kebanggaan untuk bergaya dalam keseharian di industri fesyen modern sekarang ini. Ya, secara umum masih kental diidentikkan dengan pakaian resmi untuk acara resmi.

Batik yang makin dikenal di Rusia. (KBRI)

Padahal, selain menjadi identitas bangsa, batik bagi Indonesia juga merupakan sumber daya ekonomi, melibatkan banyak usaha mikro kecil menengah dalam produksinya, menyerap banyak tenaga kerja, dan juga sebagai penghasil devisa melalui pemasaran ekspor.

Meski sempat terseok-seok sebagai dampak krisis ekonomi 1998, batik sekarang kembali sebagai sektor industri yang terus tumbuh dan berkembang dengan baik. Data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyebutkan bahwa pada 2019 lalu batik telah mendatangkan devisa sebesar 17,99 juta dolar AS.

Sementara pada Januari hingga Juli 2020, nilai ekspor batik naik mencapai 21,54 juta dolar AS (lebih dari Rp318 miliar) dengan tujuan utama ke Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa. Seolah tidak terdampak oleh pandemi COVID-19, batik tetap menghasilkan devisa yang meningkat tahun ini.

Baca juga: Kemenperin dorong industri batik dan kerajinan manfaatkan teknologi

Baca juga: "Batik" Afrika disulap jadi karya seni

Baca juga: Ikhtiar melestarikan batik di tengah pandemi Jakarta

Dukungan tanpa henti
Melihat potensinya yang besar, berbagai dukungan diberikan oleh pemerintah dan lembaga terhadap batik, melalui kampanye-kampanye atase kebudayaan Indonesia di kedutaan-kedutaan besar kita di luar negeri, mengikuti pameran internasional, hingga program-program pemajuan industri batik kementerian dan pemerintah daerah.

Setelah menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional pascapengakuan UNESCO bahwa batik merupakan Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi pada 2009, pemerintah Indonesia terus berupaya mendorong kemajuan industri batik nasional.

Melalui badan penelitian dan pengembangannya, Kemenperin telah menciptakan alat produksi hingga teknologi pengolahan limbah batik, dan tahun ini juga mendorong pengusaha-pengusaha batik untuk memanfaatkan teknologi modern untuk mendongkrak produktivitas dan kualitas dengan lebih efisien.

Sesuai implementasi program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0, industri batik dalam negeri diharapkan bisa memadukan warisan budaya dan kearifan lokal dengan teknologi serta cara kerja modern sehingga bisa memberikan nilai tambah pada produknya, juga bisa bersaing pada era Industri 4.0.

Sementara Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif terus mendorong industri batik berinovasi, baik melalui pengembangan ide-ide kreatif maupun pemanfaatan media digital sebagai sarana memasarkan produk. Upaya untuk mengenalkan dan mendorong pemanfaatan teknologi digital bagi industri batik nasional sangatlah penting mengingat pada umumnya perajin batik berusia di atas 45 tahun.

Selain pemberian stimulus melalui program bantuan UMKM di sentra-sentra batik, seperti Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Cirebon, Madura, dan Bali, pengenalan dan mendorong pengusaha batik memanfaatkan teknologi modern sangat perlu agar potensi batik tidak terkubur oleh perkembangan jaman lantaran ketidakefisienan proses produksi.

Adaptasi industri batik terhadap teknologi sangat diperlukan agar produknya bisa menjangkau pasar yang lebih luas dengan cara lebih efisien. Sebagian pelaku usaha yang memanfaatkan platform digital di tengah pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa mereka bisa tetap bertahan di tengah kondisi sulit seperti sekarang ini.

Meskipun tidak bisa dipungkiri, di sisi lain, pandemi telah membuat 2,1 juta pekerja industri tekstil dan produk tekstil kehilangan pekerjaan, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) April lalu. Kemudian, banyak perajin batik bermodal di bawah Rp200 juta di Cirebon hingga Pekalongan gulung tikar karena minimnya permintaan.

Satu yang lagi yang tidak kalah pentingnya adalah membuat usaha batik menarik bagi kaum milenial demi keberlanjutan dan kemajuan industri yang sekarang menyerap sekitar 200.000 pekerja ini di masa mendatang.


Baca juga: Perajin batik difabel di Jakarta Selatan kini memproduksi masker

Baca juga: Mendikbud: Batik bukan sekadar kain bermotif

Baca juga: Panduan memakai batik yang modis dan modern

Busana karya Janice Setyawan (kanan) dan Benita Setyawan dari label Maquinn Couture untuk Milan Fashion Week 20/21" (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)

Mengharap revolusi
Industri batik Indonesia perlu revolusi, bukan revolusi dalam arti yang tidak-tidak, tapi revolusi ide dan inovasi dalam menghasilkan produk batik yang mengikuti dunia fesyen modern sekarang ini maupun mengantisipasi perkembangan di masa mendatang.

Masih menjadi PR, bagaimana bisa membawa batik mewarnai tren fesyen kaum milenial, menjadikannya tidak hanya sebagai pakaian resmi dalam acara resmi, tapi juga busana keseharian yang gaya dan bersaing dengan merek-merek busana pada umumnya baik lokal maupun impor.

Bukan berarti mengabaikan batik-batik berkualitas sekarang yang dikenal sebagai pakaian resmi itu, namun menciptakan pangsa pasar baru yang lebih subur dalam lingkaran industri fesyen. Pakaian batik resmi tetap harus unggul di segmennya, dan tetap didorong untuk berkembang di dalam negeri dan mengisi pasar global.

Ide kreatif memadukan batik dengan gaya pakaian modern harus terus dikembangkan, bukan saja dari desain dan corak, tapi juga dalam bahan kainnya yang berkualitas, walaupun tetap harus berharga terjangkau sesuai kelasnya. Batik berkualitas, lumayan mahal bagi kebanyakan orang saat ini, dan ini tantangan yang harus dipecahkan oleh para pelaku industri batik kita.

T-shirt batik dari Maquinn Couture (ANTARA/Lia Wanadriani Santosa)

Ide dan kreasi di luar kebiasaan, seperti yang dilakukan oleh Janice dan Benita Setyawan dengan merek Maquinn Counture, telah mengubah batik menjadi pakaian rileks dan gaya. Duo perancang muda ini telah memadukan seni batik Pekalongan dan Cirebon ke dalam pakaian modern yang gaya untuk berbagai kalangan usia, dalam bentuk t-shirt, jaket, dan kemeja.

Ketika tampil di Milan Fashion Week 20/21 beberapa waktu lalu, Jenice dan Benita dengan berani menggabungkan batik dengan unsur Eropa dan membuktikan bahwa seni batik Indonesia bisa bersanding dengan gaya modern serta mewarnai dan menjadi pembeda di gelaran pertunjukan fesyen dunia.

Semoga apa yang dilakukan Jenice dan Benita itu memberikan inspirasi besar bagi pelaku industri batik Indonesia, termasuk kaum milenial untuk ikut melestarikan batik dengan caranya, sekaligus membuat wastra ini sebagai kekayaan bangsa yang terus berkembang serta menguntungkan secara ekonomi.


Baca juga: Batik tampil dalam pameran fesyen New York di tengah pandemi

Baca juga: Kreativitas dunia fesyen di balik krisis corona

Baca juga: BEKRAF sebut industri fesyen sumbang 18 persen pendapatan negara

Copyright © ANTARA 2020