Kalau tidak ada Kabayan, budi daya ikan mas saya tutup saat pandemi ini karena kehabisan modal
Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga saat ini, membuat hampir semua sektor kehidupan terdampak, tidak terkecuali tentang budi daya ikan air tawar.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memotret salah satu kondisi itu dialami oleh pembudi daya ikan di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Para pembudi daya ikan tersebut sangat merasakan dampaknya, mulai dari menurunnya permintaan ikan yang berimbas terhadap turunnya harga ikan.
Kondisi riil itu tentu sangat memengaruhi pendapatan pembudi daya, yang disebutkan bak buah simalakama --menghadapi keadaan yang serba salah--, yakni kian ditahan masa pemeliharaan semakin besar anggaran yang dikeluarkan dengan harga ikan yang semakin menurun.
Sayangnya, penurunan itu tidak terjadi pada harga pakan ikan sehingga makin membuat pembudi daya semakin pusing.
Dalam satu kesempatan, Menteri KKP Edhy Prabowo mengakui kondisi yang dialami pembudi daya itu sehingga ia menegaskan negara bakal terus hadir untuk menjaga situasi sekarang yang dinilai akan memicu dampak negatif pada produktivitas subsektor perikanan budi daya.
Menurut dia, penjagaan harus dilakukan karena subsektor perikanan budi daya kinerjanya saat ini sedang mencapai kondisi yang bagus.
Karena itu, rencana yang disiapkan untuk menyelamatkan industri perikanan budi daya, salah satunya dengan membeli hasil produksi perikanan budi daya. Namun, masih ada skenario lain yang sedang disiapkan oleh negara agar masyarakat tidak kendor dalam kegiatan budi daya.
Dirjen Perikanan Budi Daya KKP Slamet Soebjakto pun tak menampik pandemi global COVID-19 memang menjadi kekhawatiran banyak pelaku usaha perikanan budi daya.
Namun, ia memberi penegasan juga bahwa dalam kondisi tersebut pemerintah akan terus hadir untuk mendampingi para pembudi daya ikan untuk bisa melaksanakan produksi dengan baik.
Serap hasil panen
Tidak hanya pemerintah yang punya komitmen untuk menyelamatkan kelompok pembudi daya ikan di Tanah Air.
Melalui Program "Tarik Ikan 350.000 Kilogram (350 Ton)", usaha rintisan akuakultur pertama di Indonesia, yakni "eFishery" yang berpusat di Bandung, melakukan ikhtiar guna membantu para pembudi daya ikan air tawar di Tanah Air.
Sejak diluncurkan pada April 2020, Program "Tarik Ikan 350 Ton" yang diinisiasi oleh "eFishery" telah berhasil menarik lebih dari 350
ton ikan dari pembudi daya.
"Kami berkomitmen untuk turut berkontribusi dalam mengatasi masalah yang dialami oleh pembudi daya Indonesia selama masa pandemi," kata Kepala Pemasaran "eFishery" Galih Husni Fauzan.
Ia menjelaskan sektor perikanan budi daya adalah salah satu yang merasakan dampaknya, bahkan sejak pandemi ini muncul di awal 2020.
Melihat kondisi sektor perikanan budi daya yang mengalami penurunan, "eFishery" berkomitmen untuk turut berkontribusi dalam mengatasi masalah yang dialami oleh pembudi daya Indonesia selama masa pandemi.
Masalah-masalah yang dialami oleh pembudi daya selama masa pandemi, di antaranya penurunan permintaan ikan yang cukup signifikan sehingga ikan hasil panen tidak terserap dengan baik.
Untuk meminimalisasi kerugian, pembudi daya terpaksa tidak memanen seluruh ikan meskipun ukuran dan kondisinya sudah sesuai dengan permintaan pasar.
"Di tengah pandemi seperti sekarang ini, pengambilan ikan berkurang hingga 50 persen setiap pekannya, kalau ada yang mau beli juga harganya jatuh, belum menutup untuk modal, jadi terpaksa ikan tidak diangkat," kata Baban, pembudi daya ikan nila asal Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Baca juga: KKP latih budi daya perikanan untuk warga lapas Kota Agung Lampung
Penundaan panen, kata dia, juga mengakibatkan ukuran ikan yang tetap berada di kolam menjadi semakin besar sehingga semakin sulit untuk dijual.
Pembudi daya ikan patin di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur Putut Kuncoro pun mengalami kondisi yang sama.
"Dalam kondisi pandemi saat ini kami juga mengalami kendala dalam serapan hasil panen, sampai kemudian ada jalinan kemitraan dengan 'eFishery' yang memberikan jaminan membeli ikan-ikan pembudi daya di Tulungagung ini," kata pembudi daya di Desa Tenggur, Kecamatan Rejotangan, Tulungagung itu.
Sedangkan pembudi daya ikan lele di Kabupaten Indramayu, Jabar Carman menjelaskan untuk menyiasati agar ikan tidak terlalu cepat besar di kolam yang sudah terlanjur tebar dan belum ada pembeli, ikan diberi pakan dengan protein rendah dan volume pakan dikurangi.
"Tapi hal ini berdampak pada FCR yang semula 1:1.1, saat ini mencapai 1:2," katanya. FCR (Food Conversion Rate) adalah nilai konversi pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram daging pada ikan.
Selain harga jual yang mengalami penurunan akibat permintaan pasar yang menurun, menurut Galih Husni Fauzan, perusahaan pengolah ikan dan pemangku kepentingan lainnya pun masih lesu lantaran pasar "horeka" (hotel, restoran, dan kafe) juga menurun, sedangkan akses untuk berpindah ke pasar retail maupun daring (online) masih belum maksimal.
Dalam kondisi tersebut "eFishery" melalui "eFisheryFresh" menyusun program tarik ikan sebagai salah satu upaya dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
Program ini berusaha menyerap 350.000 kilogram komoditas ikan dari hasil panen para pembudi daya Indonesia untuk kemudian diproses menjadi produk beku demi menambah nilai jual dan memperpanjang masa konsumsi.
Dengan demikian, hasil panen dapat disimpan lebih lama sehingga mengurangi risiko terbuangnya hasil panen.
Ikan yang telah dibekukan kemudian dipasarkan ke berbagai konsumen. Penjualan ikan di antaranya dilakukan dengan metode "business to business" dan "business to business to customers" seperti keagenan dan "reseller", dan "business to customers" seperti penjualan melalui "marketplace" dan "platform" lainnya yang dimiliki oleh "eFisheryFresh".
Melalui "Program Tarik Ikan 350.000 Kilogram" itu, melalui "eFisheryFresh" dilakukan fasilitasi pembudi daya yang kesulitan menyalurkan hasil panennya selama masa pandemi.
"Kami berupaya membuka akses pasar yang lebih luas sehingga penyaluran ikan menjadi lebih mudah dan lebih baik," kata Galih.
Baca juga: Menteri KKP ingin tingkatkan produktivitas budi daya lahan tradisional
Hingga saat ini, "eFishery" telah menarik ikan hasil panen pembudi daya di beberapa daerah, seperti di Cirebon (Jabar), Pamijahan, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tulungagung.
Demi meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, eFishery terus berkomunikasi dengan para pembudi daya untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di lapangan, sehingga dapat terus berinovasi dan menyediakan solusi terbaik bagi seluruh pembudi daya Indonesia.
Strategi
Terkait dengan kesulitan yang dialami pembudi daya ikan, Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Nilanto Perbowo menguatkan soal kehadiran negara itu dengan penyiapan strategi untuk mengantisipasi dampak negatif pandemi COVID-19.
Dengan adanya strategi diharapkan bisa dijaga stabilitas harga yang membuat pelaku usaha bisa menghindari kerugian dan sekaligus menyerap produksi ikan dengan maksimal.
Pelaksanaan strategi di lapangan, dengan melaksanakan kerja sama antarinstansi untuk menciptakan sinergi yang akan berdampak langsung kepada masyarakat.
Ia memberi contoh penyaluran bahan baku ikan segar dan olahan melalui bantuan pangan nontunai yang sebagian dari dana tersebut bisa untuk membeli ikan segar dan melaksanakan optimalisasi sistem resi gudang (SRG) ikan atau selama ini dikenal di masyarakat dengan sistem tunda jual.
Dengan melaksanakan optimalisasi SRG, diharapkan dampak negatif bisa ditekan lebih cepat, sehingga nelayan dan pembudi daya ikan tidak mengalami kerugian yang banyak.
Untuk itu, saat harga sedang turun seperti sekarang, produk yang dihasilkan nelayan dan pembudi daya ikan bisa menitipkannya di gudang beku yang sudah ditunjuk sebagai pelaksana SRG.
"Dan dapat menjualnya kembali saat harga sudah kembali membaik," katanya.
Bahkan, dengan menitipkan produk ke gudang beku yang ditunjuk sebagai pelaksana SRG, nelayan dan pembudi daya ikan bisa menjaminkan resi penitipan untuk dijadikan jaminan ke lembaga pembiayaan dalam pengajuan mendapatkan dana tunai untuk modal usaha.
Sementara itu CEO dan Co-founder "eFishery" Gibran Huzaifah menambahkan sejak didirikan pada 2013, usaha rintisan itu mengusung visi untuk menjadikan akuakultur sebagai sumber protein utama di dunia.
Pada awal kemunculannya, "eFishery" menyediakan solusi berupa IoT (Internet of Things) bagi pembudi daya ikan dan udang melalui alat pemberi pakan ikan dan udang otomatis atau "auto feeder" yang dapat dioperasikan melalui telepon pintar.
Pengaplikasian alat ini di kolam budi daya terbukti mampu mengefisienkan penggunaan jumlah pakan dan mempercepat siklus panen sehingga pendapatan pembudi daya pun meningkat.
Baca juga: Menteri Edhy target produksi ikan air tawar 4,68 juta ton pada 2020
Sebagai usaha rintisan akuakultur pertama di Indonesia dan merupakan salah satu yang terbesar di Asia, selain "eFisheryFeeder", juga ada layanan lainnya yang dapat mendukung usaha pembudi daya ikan dan udang di Indonesia sehingga dapat menjadi lebih berkembang.
"Kami selalu mencari cara untuk dapat lebih mendukung para pembudi daya. Setelah melalui diskusi di lapangan, ternyata banyak pembudi daya yang mengungkapkan bahwa mereka kesulitan dalam mendapatkan akses pendanaan dari institusi finansial karena budi daya ikan termasuk sektor usaha yang berisiko tinggi," kata Gibran Huzaifah.
Selain itu, banyak yang mengeluh kesulitan untuk menjual hasil panen sehingga mereka terpaksa menjual ke tengkulak dengan harga yang sangat rendah.
Atas kondisi tersebut, sejak 2019 mulai dikembangkan produk bernama "eFisheryFeed", "eFisheryFund", dan "eFisheryFresh".
Melalui "eFisheryFeed" dijalin kerja sama dengan berbagai merek pakan ikan dan udang untuk memastikan distribusi pakan yang lebih mudah di mana pembudi daya dapat menyesuaikan jenis pakan yang sesuai dengan kebutuhan karena merek pakan yang tersedia lebih variatif.
Selain itu, pembudi daya dapat memperoleh pakan dengan harga yang kompetitif.
Saat ini, ratusan pembudi daya membeli pakan melalui "eFisheryFeed" secara reguler dan "eFisheryFund" pun hadir dari keresahan para pembudi daya akan sulitnya mengakses layanan pembiayaan/finansial dari berbagai lembaga keuangan yang ada.
Pada umumnya, lembaga keuangan enggan memberikan pinjaman untuk pekerja di sektor nonformal seperti pembudi daya ikan sehingga "eFisheryFund" menghubungkan pembudi daya ikan secara langsung dengan lembaga keuangan untuk meningkatkan akses mereka terhadap pendanaan.
Komponen utama "eFisheryFund" adalah eFisheryKabayan (Kasih, Bayar Nanti) yang mengusung sistem yang serupa dengan sistem "paylater".
"eFisheryKabayan" merupakan sebuah fasilitas yang menyediakan pembiayaan bagi pembudi daya ikan yang dapat digunakan untuk mendapatkan produk-produk "eFishery", termasuk "eFisheryFeeder" dan "eFisheryFeed".
"Kalau tidak ada Kabayan, budi daya ikan mas saya tutup saat pandemi ini karena kehabisan modal," kata Baban, pembudi daya di Pamijahan, Bogor.
Gibran menambahkan sekitar 80 persen dari biaya produksi dihabiskan untuk pembelian pakan sehingga dengan skema ini pembudi daya diharapkan dapat terbantu dalam pengelolaan biaya pakan.
Hingga saat ini, lebih dari 500 pembudi daya telah didukung oleh "eFisheryFund" dan dalam kurun waktu enam bulan terakhir, loan approval (persetujuan peminjaman) "eFisheryFund" mencapai hingga Rp50 miliar demi mendukung usaha para pembudi daya, khususnya di tengah pandemi COVID-19.
Kian banyaknya komitmen untuk membantu pembudi daya ikan di saat pandemi COVID-19, baik pemerintah maupun pihak nonpemerintah, suatu wujud nyata bahwa berbuat baik dan ikhtiar membantu sesama yang sedang mengalami kesulitan tidak padam.
Baca juga: Menteri Edhy ingin pelajari teknologi ekonomi perikanan Norwegia
Baca juga: KKP kembangkan asuransi mikro akuakultur bagi pembudidaya perikanan
Baca juga: KKP: Paradigma bangun akuakultur harus perhatikan lingkungan
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020