Kuala Lumpur (ANTARA News) - "Wah saya rasanya tak bisa dan sanggup untuk melakukan diskusi buku di Universitas Putra Malaysia karena besok sudah harus kembali ke Jakarta," kata A. Fuadi menolak permintaan para mahasiswa untuk mempromosikan bukunya di salah satu kampus di Malaysia.
A. Fuadi kini memang sibuk dengan safari dari kampus ke kampus di Malaysia untuk promosi bukunya "Negeri Lima Menara". Hari Minggu di Universitas Islam Internasional Malaysia (UIA), esoknya di Universitas Kebangsaan Malaysia.
Sangat jarang buku terbitan Indonesia didiskusikan atau dibahas di Malaysia, kecuali buku yang ditulis pengarang besar seperti Buya Hamka atau Pramoedya Ananta Toer. Tapi kini ada kecenderungan penulis novel muda Indonesia diundang ke negeri jiran untuk membahas karya tulisnya.
Tahun lalu, buku "Laskar Pelangi" karya Andrea Hirata juga dibahas dan didiskusikan di Universitas Sains Malaysia (USM) di Pulau Pinang.
Selain diskusi buku, juga diselenggarakan pemutaran filmnya. Namun kegiatan itu dilakukan setelah penjualan buku itu dan filmnya sukses di Indonesia. Sebelum didiskusikan, novel Andrea Hirata pun diterbitkan dalam versi bahasa Melayu.
Sedangkan edisi bahasa Melayu "Negeri Lima Menara" baru akan diterbitkan oleh PTS Litera Utama Sdn Bhd, sebuah penerbitan Malaysia.
"Kami targetkan dalam bulan Mei 2010, novel ini sudah beredar di Malaysia dalam versi bahasa Melayu. Kami akan cetak awal sebanyak 3.000 kopi," kata Asma Fadila Habib, manajer publikasi PTS Litera.
Asma yakin penerbitan novel berbahasa Melayu ini akan mendapat sambutan positif di Malaysia karena banyaknya orang Indonesia di Malaysia dan sebagian besar warga Melayu Malaysia keturunan Indonesia, di samping juga cerita menarik yaitu mengenai kisah sukses alumni santri pesantren Gontor, Jawa Timur.
"Banyak juga alumni Gontor di Malaysia dan novel ini bagus untuk menjadi inspirasi kehidupan pesantren di Malaysia," katanya.
Walaupun film berdasarkan buku tersebut baru akan digarap, namun novel yang sudah terjual sekitar 80.000 buku di Indonesia itu sudah melakukan promosi di kalangan mahasiswa dan dosen Indonesia di Malaysia.
Mantra
Agaknya A. Fuadi telah menyebarkan mantra sakti "man jadda wajada", "siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses", hingga ke Negeri Jiran, Malaysia.
Mantra itu diterima oleh penulis atau Alif, seorang tokoh utama dalam novel, saat masuk ke pondok modern Gontor, Jawa Timur. Ia selalu teringat mantra itu saat pertama kali menerima pelajaran di Gontor dan selalu ditanamkan kuat-kuat filofosi tersebut kepada seluruh santrinya.
Alif menghabiskan masa SMA-nya melalui pesantren, karena dia tiga tahun mengecap pendidikan madrasah tsanawiyah di kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dia lulus dengan nilai bagus dan masuk 10 besar terbaik sekabupaten. Pantas masuk sekolah bergengsi SMA Bukit Tinggi.
Apalagi Alif sebagai anak kampung yang tumbuh dan besar di kawasan Danau Maninjau bercita-cita ingin menjadi Habibie. Saking inginnya menjadi seperti seorang BJ Habibie, nama itu sudah dianggap sebagai profesi prestius yang dicita-citakannya.
Dia bertekad masuk SMA agar bisa melanjutkan kuliah di ITB atau UI.
Tapi ibunda tercinta tidak ingin anaknya Alif yang cerdas masuk SMA. Ibunya ingin dia masuk pesantren agar bisa menjadi ulama sekelas Buya Hamka yang sekampung dengan mereka. Apalagi kedua kakek si Alif memang ulama terkenal di kampungnya.
"Jika semua anak cerdas masuk SMA dan yang masuk pesantren adalah anak-anak yang nilainya rendah, bagaimana nanti kualitas ulama yang membina umat muslim. Makin hari umat makin pintar dan kritis," kata Fuadi, meniru perkataan ibunya untuk membatalkan melanjutkan ke SMA Bukit Tinggi dan masuk pesantren Gontor.
Alif terpaksa pergi belajar di pesantren modern Gontor. Melihat dan mengalami pola pendidikan di pesantren modern itu ternyata mengubah pandangan Alif terhadap dunia pesantren. Di sana, ia diajarkan dua bahasa yakni Arab dan Inggris.
Pada hari pertama di pondok pesantren, Alif sudah terkesima dengan mantra sakti "man jadda wajada". Di pesantren itu, para santri diarahkan untuk mempunyai cita-cita setinggi langit.
Semangat mantra itu telah mendorong Alif untuk belajar dengan sungguh-sungguh sehingga ia bisa kuliah di Universitas Padjajaran, melanjutkan studi S2 di George Washington, Amerika dan mendapatkan beasiswa tahun 1998. Tahun 2004, ia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London.
Alif atau A. Fuadi kini telah menjadi seorang yang kuat dalam bidang ilmu modern, sekaligus kuat di bidang agama, berkat "man jadda wajada".
Sebarkan
Mantra sakti yang telah membuat Alif mendapat beasiswa di Amerika dan Inggris serta membuka dunia bagi santri melihat negara-negara maju itu dibukukan dengan judul "Negeri Lima Menara" yang diterbitkan Gramedia dan sudah beberapa kali naik cetak hingga oplahnya mencapai 80.000 buku.
Dari penjualan buku itu, Fuadi mampu membangun sebuah sekolah di Pariaman yang terkena korban gempa bumi, 30 September 2009. Bekerjasama dengan penerbit dan beberapa pihak lainnya, dia mampu menyisihkan Rp1.000 per buku yang terjual untuk membangun sekolah bagi anak-anak korban gempa.
Setelah penjualan bukunya sukses di Indonesia, Afif kini mencoba menyebarkan khasiat mantra sakti itu di Malaysia.
Diskusi buku itu diselenggarakan Universitas Islam internasional (UIA) di Malaysia, salah satu universitas bergengsi di Malaysia. Disusul Universitas Kebangsaan Malaysia (UKIM) yang juga kampus berprestius di Malaysia.
Puluhan mahasiswa dan dosen di UIA dan UKM hadir dalam diskusi buku tersebut. Mereka ingin mengetahui semangat yang ada dalam buku yang telah menjadi salah satu "best-seller" di Indonesia itu.
Tak lama lagi, PTS Litera Utama Sdn Bhd akan memperluas penyebaran mantra sakti "man jadda wajada" itu ke Malaysia dengan mencetak "Negeri Lima Menara" sebanyak 30.000 kopi Mei tahun ini.
A029/T010/AR09
Oleh Adi Lazuardi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010