Demikian dikemukakan Maduki Baidlowi, mantan wakil sekretaris jenderal Pengurus Besar NU, di Jakarta, Jumat, menanggapi suksesi kepemimpinan NU dalam muktamar mendatang.
"Kriteria calon rais aam (pemimpin tertinggi NU) di era globalisasi seperti sekarang ini tentunya harus berbeda dengan kriteria di masa lalu, karena tantangannya juga berbeda," katanya.
Selain itu, lanjut mantan anggota DPR RI tersebut, perlu juga dilakukan perubahan dalam pola kepemimpinan dari personal menjadi kolektif kolegial, terlebih saat ini tidak ada tokoh NU yang sekaliber KH Hasyim Asyari, KH Wahab Chasbullah, dan KH Bisri Syamsuri yang merupakan pendiri NU.
"Kepemimpinan di tingkat syuriyah harus bersifat kolegial di bawah seorang rais aam yang punya kemampuan manajerial yang kuat," katanya.
Masduki berharap muktamar NU ke-32 di Makassar pada 23-28 Maret 2010 bisa memilih figur pemimpin yang tepat sehingga NU ke depan bisa lebih baik, bukan justru mengalami kemunduran.
Pada bagian lain, Masduki mengingatkan kemungkinan adanya kepentingan di luar NU yang turut bermain dalam muktamar, terutama terkait pemilihan pemimpin NU.
"Kepentingan eksternal bermain merupakan kepastian sejarah. Persoalannya, maukah orang NU dipermainkan pihak eksternal," katanya.
Menurutnya, kepentingan di luar NU yang biasa turut bermain adalah kepentingan politik partai atau pihak lain yang menginginkan NU bisa mereka "kendalikan".
"Mereka sengaja `memancing di air keruh` karena ingin memasang jago-jagonya di pengurus PBNU yang akan datang. Tujuannya jelas, untuk kepentingan partai atau lembaganya agar NU tidak kuat, tidak solid, gampang disetir dan diobok-obok," katanya.
(S024/R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010