populasi yang paling berisiko tinggi

Jakarta (ANTARA) - Hasil studi yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan tingkat kematian pasien COVID-19 berusia di atas 60 tahun sebesar 23 persen.

"Populasi usia lanjut merupakan salah satu populasi yang paling berisiko tinggi untuk terkena dampak COVID-19. Gejala-gejala yang dijumpai pada pasien kelompok usia ini seringkali tidak khas sehingga berujung pada keterlambatan diagnosis dan penanganan," ujar Dekan FKUI, Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD KGEH,dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Tingginya angka kematian pada orang tua, kata dia, harus menjadi pelajaran bagi masyarakat yang mempunyai mobilisasi tinggi dan memiliki anggota keluarga berumur 60 tahun ke atas untuk senantiasa menjaga jarak, serta tetap disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan agar tidak menjadi sumber penularan virus di rumah.

Baca juga: Studi Sosial COVID-19: 92,8 persen dukung karantina wilayah

Ia menyambut baik studi itu dan menyampaikan apresiasi kepada para peneliti yang terdiri dari sejumlah staf di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM dan Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine Unit (CEEBM) FKUI-RSCM.

Saat total ada 44 pasien usia lanjut dari 461 pasien rawat inap yang terkonfirmasi COVID-19 di RSCM.

Mayoritas pasien berusia 60-69 tahun (68 persen) dan berjenis kelamin laki-laki (66 persen). Persentase pasien dengan gejala-gejala khas COVID-19, seperti demam, batuk, dan sesak napas hanya sekitar 50 persen. Sisanya datang dengan gejala tidak khas.

Tingkat kematian pasien usia lanjut dengan COVID-19 dalam penelitian ini (23 persen) lebih tinggi dibandingkan angka nasional (14,9 persen). Sebanyak 90 persen pasien yang meninggal berjenis kelamin laki-laki.

Baca juga: Studi : Sejumlah pasien sembuh COVID-19 alami gangguan kejiwaan

Ada beberapa mekanisme yang menjelaskan mengapa laki-laki lebih rentan mengalami luaran buruk dalam kasus COVID-19. Salah satunya karena penurunan jumlah sel B dan sel T pada laki-laki usia lanjut lebih besar dibandingkan perempuan. Dampaknya, respons imun yang dihasilkan pun tidak terlalu kuat. Selain itu, hormon testosteron, biasa dikenal oleh masyarakat sebagai hormon seks pria, ternyata mempengaruhi ekspresi TMPRSS2 yang berperan penting dalam proses masuknya virus SARS-CoV-2 ke dalam sel tubuh.

Pada penelitian itu, proporsi pasien yang meninggal pada kelompok usia 70 tahun ke atas lebih tinggi dibandingkan kelompok usia 60-69 tahun. Seiring dengan bertambahnya usia, sistem imun tubuh seseorang semakin mengalami disfungsi. Akibatnya, pasien-pasien COVID-19 usia lanjut semakin rentan mengalami “badai sitokin” yang dapat menimbulkan masalah di berbagai organ tubuh dan memicu kejadian gagal napas.

Keberadaan komorbiditas atau penyakit penyerta menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko kematian pasien-pasien COVID-19. Hasil penelitian ini menunjukkan hipertensi dan diabetes melitus sebagai komorbiditas yang umum ditemukan pada pasien. Beberapa pasien bahkan memiliki komorbiditas lebih dari satu.

Baca juga: Peneliti ungkap COVID-19 dapat sebabkan kerusakan otak

Meskipun multikomorbiditas bukan termasuk salah satu faktor risiko kematian COVID-19 yang menonjol pada penelitian ini, sebuah studi dari UK Biobank menyatakan multikomorbiditas, terutama multikomorbiditas kardiometabolik berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan COVID-19.

Hal menarik lain yang patut diperhatikan terkait hasil penelitian ini adalah sebagian besar pasien (86 persen) tidak memiliki riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi COVID-19.

Tingginya risiko penularan melalui kluster keluarga dan banyaknya pasien asimptomatik atau tanpa gejala di Indonesia, anggota keluarga lain termasuk pelaku rawat harus selalu waspada serta lebih memerhatikan penerapan upaya pencegahan penularan COVID-19.

Baca juga: Studi: Penggunaan masker secara luas cegah gelombang kedua COVID-19

Pewarta: Indriani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020