Penahanan terhadap tersangka Murnianto dilakukan mulai hari ini sekitar pukul 15. 00 WITA,
Mamuju (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi Barat (Kejati Sulbar) melakukan penahanan terhadap Murnianto, tersangka dugaan korupsi pengadaan bibit kopi pada proyek perluasan tanaman kopi pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Mamasa tahun anggaran 2015.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulbar Amiruddin, kepada wartawan di Mamuju, Kamis, mengatakan penahanan dilakukan terhadap tersangka Murnianto, berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat (T-2) Nomor: PRINT-458/P.6/Fd.1/10/2020, tanggal 15 Oktober 2020.
Penahanan, lanjut Amiruddin, akan dilakukan selama 20 hari, dan tersangka Murnianto ditempatkan di Rutan Polda Sulawesi Barat.
"Penahanan terhadap tersangka Murnianto dilakukan mulai hari ini sekitar pukul 15. 00 WITA, dan akan dilakukan hingga 20 hari ke depan," kata Amiruddin.
"Penahanan tahap penyidikan terhadap tersangka Murnianto ini terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan bibit kopi/kegiatan perluasan tanaman kopi pada Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Mamasa tahun anggaran 2015," ujarnya pula.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidus) Kejati Sulbar Feri Mupahir menguraikan, dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka Murnianto yang menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kegiatan Pengadaan bibit kopi kegiatan Perluasan Tanaman Kopi pada Dinas Pertanian, Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Mamasa tahun 2015 itu, dilakukan dengan cara meminta tim pokja mengganti spesifikasi bibit kopi pada "Summary Report" menjadi jenis benih kopi "Somatic Embriogenesis/SE".
Hal tersebut dilakukan lanjutnya, dengan merujuk produk tertentu dan agar pelelangan dapat dimenangkan salah satu perusahaan yang telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian dengan satu-satunya suplier bibit kopi SE di Indonesia.
"Jadi, tersangka sebagai PPK, membuat kontrak yang tidak sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (KAK), Pedoman Teknis dan spesifikasi barang berupa bibit kopi yang ada pada HPS," ucapnya.
"Kemudian pada akhir masa pelaksanaan pekerjaan, seharusnya perusahaan tidak dapat memenuhi prestasi pekerjaan, namun tersangka membuat addendum kontrak sehingga pencairan pekerjaan dapat dilakukan 100 persen," jelas Feri Mupahir.
Ia menyampaikan, berdasarkan penghitungan kerugian negara dari BPKP Sulbar, kerugian negara yang ditimbulkan akibat serangkaian perbuatan tersangka, yakni mencapai Rp1,1 miliar.
"Tersangka dijerat pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP," kata Feri Mupahir.
Pewarta: Amirullah
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020