Jakarta (ANTARA News) - Mabes Polri membantah adanya penyimpangan dalam penyidikan kasus rekening berisi Rp25 miliar dengan tersangka G, seorang pegawai negeri sipil (PNS) Ditjen Pajak.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Edward Aritonang, Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Irjen Pol Dikdik Mulyana Arief Mansur dan para penyidik menyatakan hal itu dalam jumpa pers di Mabes Polri di Jakarta, Jumat.

"Sampai saat ini belum ditemukan penyimpangan dalam penyidikan termasuk adanya makelar kasus dalam kasus ini," kata Aritonang.

Ia juga membantah tuduhan mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji yang menyatakan ada makelar kasus yang berkantor di antara ruang kerja Kapolri dan Wakapolri.

Dikdik menyatakan, Polri hanya menemukan indikasi pidana untuk rekening sejumlah Rp395 juta sedangkan yang lainnya tidak ditemukan unsur pidana.

"Sisa rekening Rp25 miliar setelah disita Rp395 juta itu tetap berada di dalam rekening dan sepenuhnya dana itu berada di tangan pemilik rekening," katanya.

Polri membuka rekening yang diblokir atas petunjuk dari jaksa penuntut umum.

Penyidik madya Bareskrim, AKBP Mardiani mengatakan, Polri menyidik kasus ini setelah menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK).

Dalam kasus itu, Polri menemukan indikasi bahwa ada uang Rp395 juta yang diperoleh secara melawan hukum sehingga pemilik rekening yakni G dijadikan tersangka pidana pencucian uang, suap dan penggelapan.

Menurut Mardiani, uang Rp395 juta itu berasal dari tiga transaksi dari PT Megah Jaya Garmeindo dan Robertus Santonius.

PT Megah mengirimkan uang Rp370 juta sedangkan Robertus Rp25 juta.

"Setelah ditelusuri, Robertus ternyata berprofesi sebagai konsultan pajak," katanya.

Setelah berkas diserahkan ke kejaksaan, jaksa penuntut umum meminta penyidik agar menyita uang Rp395 juta yang masih ada dalam rekening untuk memudahkan persidangan.

Penyidik lalu meminta pimpinan bank untuk membuka rekening Rp25 miliar yang telah diblokir sebelumnya.

Dengan begitu, sisa rekening Rp25 miliar setelah disita Rp395 juta tetap berada di dalam rekening.

Namun Mardiani mengaku bahwa selama penyidikan tersangka G tidak ditahan dengan alasan selalu datang jika dipanggil, memiliki domisili yang jelas baik rumah maupun pekerjaanya.

Ia menyatakan, setelah berkas diserahkan ke jaksa, penyidik juga terus mempelajari keterlibatan Roberto dalam kasus ini kendati belum mengarah adanya tersangka.

Dikdik menambahkan, di sela-sela penyidikan, Polri menerima tamu bernama Andi Kosasih yang mengaku sebagai pemilik uang itu.

Namun Polri tidak menemukan unsur pidana dalam kasus itu kendati ada keterangan tambahan dari Andi.

Sementara itu mantan Direktur II Bareskrim Brigjen Pol Edmond Ilyas yang kini menjadi Kapolda Lampung mengatakan, semua tahapan penyidikan hingga selesai sudah dilaporkan ke Susno sebagai Kabareskrim.

"Kemarin, pagi-pagi Pak Susno menuduh saya tapi sore hari kok memuji saya dalam penyidikan ini. Kalau memuji, berarti penyidikan saya benar kan," katanya.

Ia menegaskan bahwa penyerahan tersangka dan berkas ke jaksa juga terjadi saat Susno sebagai Kabareskrim.

"Saat sertijab Kabareskim, 29 Oktober 2009, berkas sudah dinyatakan lengkap sehingga penyidikan selesai dan tinggal diserahkan ke jaksa. Penyerahkan ke jaksa kan pada 3 November 2009," katanya.

Direktur II Bareskrim Brigjen Pol Raja Erizman mengatakan, saat menjabat, dirinya pernah meminta agar rekening Rp25 miliar yang diblokir dibuka.

Blokir rekening dibuka agar bisa menyita Rp395 untuk dijadikan sebagai barang bukti.

Surat permintaan buka blokir juga dikirim ke Susno sebagai Kabareskrim, Bank Indonesia dan PPATK.

Sebelumnya, Susno menuduh bahwa Edmond dan Raja terlibat mafia hukum karena mengubah penyidikan sehingga kasus Rp25 miliar hanya disidik dengan barang bukti Rp395 juta.

Ia menyatakan hal itu saat memberikan keterangan pers usai dimintai keterangan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.

Susno juga menyatakan adanya makelar kasus yang berkantor di antara ruang kerja Kapolri dan Wakapolri.

(S027/S026

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010