Karena banyaknya masalah dan penolakan publik, sejumlah pihak meminta Presiden Jokowi menerbitkan perpu guna mencabut UU Cipta Kerja.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid bertemu Pimpinan Aisyiyah Jakarta Pusat dalam acara Serap Aspirasi.
Hidayat Nur Wahid dalam rilisnya di Jakarta, Kamis, memperoleh banyak aspirasi, salah satunya menyangkut pengesahan UU Cipta Kerja.
Baca juga: Menaker : UU Cipta Kerja tidak ompong sanksi
Menurut Hidayat, pihaknya menolak RUU Ciptaker karena konsep awalnya mengandung banyak kemudaratan. Selain itu, pada draf awal, ada banyak konten yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 170, misalnya, atau ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan putusan MK, sekalipun ada yang bisa dikoreksi tetapi tetap saja banyak masalah dalam RUU tersebut.
Hal itu, kata dia, termasuk ketidakpastian hukum akibat banyaknya pasal yang menyerahkan sepenuhnya pengaturan pada aturan turunan, seperti peraturan pemerintah (PP), sehingga menimbulkan masalah hierarki.
Baca juga: Menteri Agraria sebut UU Cipta Kerja percepat penyusunan tata ruang
Tujuan awal untuk menyederhanakan aturan perundangan, menurut dia, malah menjadi rumit, bahkan menghadirkan ketidaksederhanaan aturan hukum.
Belum lagi, lanjut HNW, pembahasan dan pengesahannya yang terburu-buru dikhawatirkan banyak ketentuan yang diputuskan dengan cara yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat maupun kesesuaian dengan aturan hukum yang ada.
Pengesahannya pun menimbulkan tanda tanya besar karena tidak sesuai dengan Tatib DPR, sejak di tingkat I dengan tidak dibacakannya draf akhir yang disepakati dan diparaf di setiap lembarnya. Selain itu, juga dalam proses persetujuan RUU itu di tingkat II atau rapat paripurna.
Baca juga: Banyak pelajar demo, Anies imbau orang tua turut awasi
Selain itu, ada perubahan jumlah halaman final RUU setelah persetujuan di rapat paripurna, dari 905 halaman menjadi 812 halaman, dengan berbagai penambahan frasa dan ketentuan hukum baru.
“Jadi, sangat wajar, UU yang kontroversial ini perlu terus dikritisi. Bahkan, karena banyaknya masalah dan penolakan publik, agar dimintakan kepada Presiden Jokowi untuk terbitkan perpu guna mencabut UU Ciptaker tersebut,” ujarnya.
Ia lantas menyebut Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah (dan tentunya Aisyiyah juga), Nahdlatul Ulama, Konggres Umat Islam VII, dan serikat-serikat pekerja.
Baca juga: KSPI tidak akan ikut pembahasan aturan turunan UU Cipta Kerja
Selain itu, HNW juga sepakat dengan aspirasi mereka soal perlu adanya pengusutan terhadap kekerasan yang terjadi dalam demonstrasi penolakan RUU Ciptaker itu.
“Beragam tindakan anarkis dan kekerasan, termasuk yang dialami oleh tenaga medis Muhammadiyah dan juga penangkapan sejumlah aktivis itu memang harus dikritisi, dikoreksi, dan tak boleh diulangi lagi," katanya.
Ditegaskan pula bahwa pengusutan terhadap mereka yang melakukan tindakan anarki dengan pelemparan batu, pembakaran fasilitas-fasilitas umum, perlu juga diusut tuntas.
Pada kegiatan serap aspirasi itu salah seorang Pimpinan Daerah Aisyiyah Jakarta Pusat bernama Syamsidar Siregar secara virtual memberi apresiasi atas sikap Wakil Ketua MPR RI yang secara tegas menolak pemberlakuan UU Ciptaker.
Syamsidar Siregar menilai sikap tersebut patut dihargai karena UU Ciptaker dinilai sebagai produk perundangan yang bermasalah dan merugikan masyarakat.
Baca juga: Selesaikan lewat "JR" atau perpu ketimbang di jalanan
Syamsidar berharap selain menolak RUU Ciptaker, HNW bersama Fraksi PKS ikut mengawal keberatan dan penolakan sejumlah kalangan selain Aisyiyah dan Muhmmadiyah, seperti mahasiswa dan buruh, yang disampaikan melalui demonstrasi secara damai.
"Segera diusut tuntas oknum yang melakukan kekerasan," katanya.
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020