Kalau tidak berada di kantor, orang akan merasa kurang produktif dan saat melakukan kerja kolaboratif, kantor adalah tempat penting untuk berkolaborasi

Jakarta (ANTARA) - Konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) menilai meski tren bekerja secara fleksibel akan meningkat di masa mendatang karena kebijakan bekerja dari rumah (WFH), pasar perkantoran masih tetap akan jadi pilihan guna mendukung produktivitas pekerja.

Head of Research JLL Indonesia James Taylor dalam konferensi pers daring, di Jakarta, Kamis, mengatakan sejak sekitar enam bulan lalu sudah banyak kantor yang memberlakukan sistem WFH.

Baca juga: Pasar properti perkantoran di Jakarta diprediksi normal lagi pada 2022

Sistem bekerja dari rumah juga dinilainya sangat mungkin dilakukan di banyak bidang usaha atau industri.

"Orang juga mudah terhubung, ada teknologi, ada aplikasi konferensi video, jadi sangat mungkin mengerjakan banyak pekerjaan dari jauh. Namun, di sisi lain, sejauh sistem ini berjalan, banyak pekerja yang merindukan berada di kantor," katanya.

James menuturkan kantor tidak hanya menjadi tempat untuk bekerja, tapi lebih dari itu, ada sisi humanis dan interaksi sosial di dalamnya.

"Kalau tidak berada di kantor, orang akan merasa kurang produktif dan saat melakukan kerja kolaboratif, kantor adalah tempat penting untuk berkolaborasi. Kantor juga menjadi tempat yang bagus untuk beraktivitas, saling bertemu, dan tempat perusahaan menumbuhkan budaya korporasi," katanya.

James memprediksi begitu pandemi berakhir, kegiatan perkantoran kemungkinan akan berubah lantaran gaya fleksibel pegawainya.

Head of Markets JLL Indonesia Angela Wibawa menambahkan sejumlah klien menyampaikan bahwa pertemuan tatap muka masih diperlukan dalam kegiatan perkantoran.

Demikian pula teknologi dan minimnya gangguan menjadi kunci pertimbangan utama mengapa pasar perkantoran masih akan tetap prospektif di masa mendatang.

Sementara itu, Head of Property and Asset Management JLL Indonesia Naomi P. Santosa mengungkapkan pasar perkantoran mengalami peningkatan okupansi sejak sebelum pemberlakuan PSBB pertama.

"Sebelum PSBB pertama, okupansi itu hanya 20 persen, tapi sekarang naik 30-60 persen. Meski frekuensinya lebih sedikit dari sebelumnya, tapi saya setuju bahwa kita tetap perlu ke kantor untuk berkolaborasi dan mendapat lebih sedikit gangguan. Juga dibutuhkan koneksi ke pusat data dan rapat secara kelompok," katanya.

Dalam paparan gambaran pasar properti Jakarta sepanjang kuartal ketiga 2020, JLL mencatat adanya dampak jangka pendek pandemi terhadap sektor perkantoran terutama dari sisi permintaan. Sebagian besar perusahaan lebih fokus pada keberlangsungan bisnis dan kesehatan karyawan ketimbang melakukan ekspansi ruang kantor.

Sepanjang kuartal ketiga 2020, tidak ada penambahan gedung baru di kawasan pusat bisnis sehingga tingkat okupansi rata-rata berada di angka 74 persen.

Sejumlah sektor yang tetap aktif mencari ruang perkantoran yakni e-commerce dan perusahaan berbasis teknologi lainnya. Selain itu, perpindahan penyewa dari gedung lama menuju gedung baru dengan kualitas lebih baik merupakan tren yang tetap terjadi.

Kendati harga sewa perkantoran di kawasan pusat bisnis turun 0,5 persen, konsultan properti itu menilai pandemi tidak akan menekan harga sewa lebih dalam lantaran masih ada proyek gedung baru yang akan selesai dibangun tahun depan.

Sementara di luar kawasan pusat bisnis, ada pengurangan ruang perkantoran dikarenakan dinamika ruang tersewa dan ruang ditinggalkan. Meski terdapat satu gedung baru di kawasan Jakarta Utara, tingkat hunian stabil di angka 77 persen.

Baca juga: Konsultan: Kinerja properti perkantoran di Jakarta melambat

Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020