Jakarta (ANTARA News) - Jepang tidak merasa gempa bumi sebagai hambatan dalam mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), karena itu Indonesia tidak seharusnya melihat gempa sebagai hambatan.
"Jepang merupakan wilayah gempa seperti Indonesia. Sebanyak 53 unit PLTN sudah beroperasi selama 40 tahun di Jepang dan sudah melalui banyak peristiwa gempa," kata Penasihat Teknis Japan Nuclear Technology Institut (JANTI) Takaaki Konno.
Takaaki Konno mengatakan hal itu di sela Seminar "Prospects of Nuclear Electric Power in Indonesia" di Jakarta, Kamis.
Ia memberi contoh gempa di Niigata pada 1964 dengan magnitude 7,5, gempa Kobe pada 1995, gempa di Fukuoka pada 2005 hingga gempa di Surugawan pada 2009 dengan magnitude 6,5.
Namun demikian dampak dari gempa-gempa tersebut bisa dicegah dengan teknologi, misalnya dengan "civil engineering" yang mampu membuat bangunan PLTN tahan terhadap guncangan besar sejak prapembangunan PLTN.
Selain itu, sebelum pembangunan PLTN harus diketahui lebih dulu karakter tapak PLTN seperti sifat seismiknya atau struktur batuan yang aman bagi PLTN.
PLTN juga membutuhkan budaya keselamatan yang dimulai dengan aturan yang sangat ketat dan pengetahuan yang cukup tentang PLTN pada sumber daya manusianya.
Diakui penasihat Pimpinan JANTI, Michio Ishikawa, Jepang pernah mengalami kecelakaan PLTN akibat gempa di Mihama berskala 6,8 skala Richter pada Juli 2007 di mana air bersuhu tinggi bocor karena pipa pendingin sekunder retak serta enam pekerja tewas.
Ternyata, ujarnya, selama 28 tahun pipa tersebut hilang dari daftar yang diinspeksi.
Kecelakaan nuklir, ujarnya, selalu akibat adanya pelanggaran terhadap persyaratan keamanan pada fasilitas PLTN atau rangkaian pelanggaran operasi oleh pekerjanya seperti yang terjadi pada kecelakaan Chernobyl di Sovyet dan Three Mile Island di AS.
Tapi teknologi keselamatan PLTN saat ini, ujarnya, sudah sangat berkembang jauh dibanding di masa lalu, termasuk peraturan internasional dan inspeksi yang semakin ketat.
"Yang dilakukan PLTN di Jepang ketika terjadi gempa adalah melakukan `shutting down` (menonaktifkan -red), `cooling down` (mendinginkan -red) dan mencegah penyebaran radio aktif," tambah Konno.
(T.D009/ R009)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010