Jakarta (ANTARA News) - Sekitar setahun lalu Sebastian Kempa, seorang fotografer lepas yang tinggal di sekitar Dortmund, Jerman, memulai sebuah proyek yang bertujuan menunjukan bahwa pakaian kita adalah "lapisan kedua dari kulit".

"Pakaian menyamarkan, mengungkapkan, mencerminkan diri kita yang paling dalam atau sebaliknya menyembunyikannya," kata Kempa di lamannya seperti dikutip oleh New York Times.

Kempa telah memfoto berlusin-lusin orang, baik yang telanjang maupun tidak dan menampilkan hasilnya dalam bentuk 'before and after' di laman www.naked-people.de.

Laman tersebut tidak bersifat porno, setidaknya menurut standar Jerman, yang menganggap berlebihan jika seorang pria harus menggenakan sehelai handuk di tempat sauna khusus pria.

Model-modelnya adalah orang biasa dan tidak berkecendrungan negatif. Sehingga Kempa sangat terkejut ketika ia menciptakan aplikasi iPhone untuk sebuah pameran online, Apple menolaknya.

Mengetahui reaksi Apple terhadap tampilan telanjang itu - bahkan perusahaan itu baru saja memusnahkan ribuan aplikasi yang dianggap tidak pantas -, Kempa menggunakan foto-foto para model yang berbusana atau menggunakan pakaian dalam dan menamakan aplikasi barunya itu 'Not Quite Naked People'.

"Kelihatannya Apple punya masalah dengan kaki-kaki telanjang," sindirnya kemudian.
Seorang juru bicara Apple menolak berkomentar atas laman Kempa.

Sementara seorang eksekutif Apple mengatakan keberatan terhadap konten foto-foto orang "telanjang" sesuai yang dikeluhkan para wanita yang menemukan beberapa aplikasi "merendahkan dan memberatkan", demikian juga para orang tua yang kecewa dengan apa yang dapat dilihat oleh anak-anak mereka.

Penjelasan itu mengecewakan beberapa penerbit Jerman.

Mereka bertanya-tanya mengapa sebuah perusahaan teknologi di California, Amerika Serikat, boleh memutuskan mana yang layak dan tidak bagi orang-orang di seluruh dunia.

Sebagai perbandingan saja, bayangkan sebuah pabrikan pembuat televisi di Jepang berhak menentukan apa yang boleh ditonton orang Amerika di televisi mereka.

"Kami sangat nyaman dengan standar yang kami punya di Jerman," ujar Mathias Muller von Blumencron, editor majalah Der Spiegel.

"Kami tidak bisa menyesuaikan standar majalah-majalah eropa dengan standar di Utah (AS)." ia melanjutkan.

Von Blumencron penasaran apa yang akan terjadi jika majalah mereka menampilkan gambar yang memuat ketelanjangan, sesuatu yang seringkali terjadi ketika Der Spiegel membahas tentang, apa yang disebut, sebuah tahap produksi yang berisiko di Berlin.

"Kami tidak akan mengubah isi media. Kami mendokumentasikan perang di foto-foto, itu menunjukan kekerasan. Kadang kami menunjukan orang-orang yang tidak berbusana pantas," ia melanjutkan.

Ia mungkin punya alasan untuk khawatir.

Aplikasi iPhone untuk majalah Stern, diblokir oleh Apple selama beberapa minggu karena memasukan foto mode dengan model yang telanjang.

Kejadian itu mendorong Gruner+Jahr, penerbit majalah Stern memprotes dan mendesak Asosiasi Penerbit Majalah Jerman agar pemimpin asosiasi itu, Wolfgang Fürstner, membuat surat keluhan kepada Apple.

"Tindakan Apple secara brutal menunjukan bahwa para penerbit adalah mitra junior dalam hubungan ini," kata Peter Klotzki, juru bicara asosiasi.

Para penerbit mempunyai harapan yang tinggi agar aplikasi iPhone, dan juga di produk anyar Apple iPad, menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan, mengganti kerugian yang mereka alami di edisi cetak.

(Ber/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010