Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana tugas sementara Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, sudah tidak lagi menandatangani berkas kasus korupsi setelah DPR menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 4 tahun 2009 yang menjadi dasar pengangkatannya memimpin lembaga anti korupsi itu.

"Beliau tidak tandatangan penyidikan baru setelah perppu ditolak, ya dia merasa, sudahlah tidak ikut-ikut lagi setelah perppu ditolak," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Rabu.

Johan menjelaskan, salah satu pimpinan KPK selalu menandatangani berkas suatu kasus yang siap dinaikkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Selama ini, Tumpak adalah salah satu pimpinan yang menandatangani berkas semacam itu.

Setelah Perppu tidak diterima, kata Johan, Tumpak nemutuskan untuk tidak menandatangani berkas perkara. Meski demikian, mantan jaksa itu masih terlibat dalam setiap gelar perkara untuk memantau kemajuan penanganan kasus, termasuk kasus Bank Century.

"Karena dia kan masih sah pelaksana tugas Ketua KPK sebelum Keppres dicabut," kata Johan.

Sebelumnya, Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, penolakan Perppu penunjukan pelaksana tugas sementara KPK harus diikuti dengan pencabutan Keputusan Presiden pengangkatan dirinya.

"Tentunya keputusan presiden yang dilandasi oleh Perppu itu harus dicabut, yaitu keputusan presiden yang mengangkat kami sebagai ketua dan pimpinan KPK sementara, itu menurut saya sah-sah saja," kata Tumpak.

Dia menjelaskan, pencabutan Keputusan Presiden itu harus didahului dengan pengajuan Rancangan Undang-undang tentang pencabutan Perppu yang telah ditolak oleh DPR.

Tumpak menerima penolakan Perppu oleh DPR. Menurut dia, DPR telah menempuh jalur konstitusional untuk mengambil keputusan itu.

Dia juga memahami posisinya adalah pimpinan KPK yang bersifat sementara. "Sejak awal saya tahu konsekuensi itu. Kehadiran saya di sini adalah sementara," katanya.

Tumpak menjabat di KPK bersama dua pelaksana tugas sementara yang lain, yaitu Mas Achmad Santosa dan Waluyo. Mereka menjadi pimpinan KPK berdasar Perppu nomor 4 tahun 2009.

Dalam perkembangannya, posisi Mas Achmad Santosa dan Waluyo digantikan oleh Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang kembali ke KPK setelah terjerat kasus hukum.

Sementara itu, Perppu yang melandasi pengangkatan Tumpak, Mas Achmad, dan Waluyo ditolak oleh DPR.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), Jimly Asshiddiqie meminta pemerintah untuk segera mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang pencabutan Perppu tersebut.

"Saya kira sebaiknya segera pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang pencabutan," kata Jimly setelah bertemu pimpinan KPK di Gedung KPK.

Beberapa kalangan berpendapat, penolakan Perppu itu berdampak pada keberadaan Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai pelaksana tugas sementara Ketua KPK.

Menurut Jimly, Undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, pencabutan Perppu harus dilakukan melalui penerbitan Undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut.

Pencabutan Perppu harus dilakukan jika DPR menyatakan tidak menerima Perppu tersebut. "Perppu kalau dinyatakan tidak diterima DPR, maka Perppu itu harus dicabut," katanya.

Menurut Jimly, Tumpak masih bisa memimpin KPK selama belum ada Undang-undang tentang pencabutan Perppu.

Hal yang sama juga dikatakan oleh mantan Ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki. Dia menegaskan, Tumpak masih bisa menjabat di KPK sebelum ada pencabutan Perppu melalui Undang-undang.

Ruki menjelaskan, Undang-undang pencabutan itu bisa sekaligus mengatur konsekuensi pencabutan Perppu.

"Misalnya konsekuensinya adalah pak Tumpak harus meninggalkan KPK," kata Ruki.

Aturan pencabutan itu dimuat dalam pasal 25 Undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Ayat (3) aturan itu menyatakan, "Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku."

Sedangkan ayat (4) menyatakan, "Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut."

(F008/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010