Bandung (ANTARA News) - Gejala panasnya perkotaan (urban heat island)memicu cuaca ekstrem di Bandung akhir-akhir ini, kata pakar bidang aplikasi klimatologi dan lingkungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Bandung, Laras Tursilowati, Bandung, Rabu.

Cuaca ekstrem adalah seringnya terjadi hujan es, petir, dan angin kencang yang disebut puting beliung.

Laras menjelaskan, gejala itu hanya terjadi di kota yang dipicu oleh keadaan suhu di kota yang lebih panas daripada di pinggir kota atau desa, dan tekanan udara di kota yang lebih rendah daripada daerah di sekitarnya.

Kondisi seperti itu, katanya, membuat proses penguapan di kota menjadi lebih besar.

Gejala panasnya perkotaan itu hanya terjadi pada musim peralihan, dari musim panas ke musim hujan maupun sebaliknya, yaitu ketika suhu di suatu tempat tidak menentu dan berubah dengan cepat.

Puncak musim hujan terjadi di bulan Desember, Januari, dan Februari. Sekarang sudah Maret, masuk musim peralihan," kata Laras.

Selain karena faktor cuaca, Laras menjelaskan, fenomena "urban heat island" terjadi akibat dukungan material pembentuk sebuah kota.

Menurut dia, kota terdiri atas bangunan besar yang fondasinya terbuat dari beton dan besi dan jalan yang ada di kota pun semua dilapisi aspal.

Unsur-unsur pembentuk kota itu, kata dia, menjadikan kota akan selalu lebih panas daripada desa karena material pembangunnya dapat menyimpan kapasitas panas.

Panas yang ada di dalam kota tidak akan hilang, karena selalu terjadi proses konduksi dan emisivitas pada material-material di sana, katanya.

Untuk menekan terjadinya cuaca ekstrim, kata dia, pemerintah kota harus mengevaluasi tata guna lahan di dalam kota.

"Harus ada keseimbangan antara jumlah bangunan dan pohon. Sebuah kota tidak mungkin tidak membutuhkan vegetasi tumbuhan. Karena dengan adanya tumbuhan, udara yang tadinya panas bisa dinetralisir kembali ke suhu normal. Udara pun menjadi segar," katanya.(ANT/A024)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010