Keluarga mereka sejak dulu kurang bergaul dan menutup diri karena berbeda keyakinan agama dengan warga setempat, kata H Atang, warga setempat, Senin.
"Saya sendiri meskipun terkait kerabat, tapi tidak begitu akrab dengan keluarga mereka," katanya.
Dari pantauan ANTARA, di kediaman rumah orangtua Jaja hanya ada beberapa kerabat yang tengah menunggu kedatangan jenazah Jaja dari Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur.
Menurut Atang, sebagian besar penduduk Desa Sajira Barat masih terkait saudara dari keturunan ibu Jaja, Eni, yang sudah meninggal dunia. Ayah Jaja, Yusuf, yang kelahiran Solo, Jawa Tengah, juga sudah meninggal dunia.
"Dulu ayahnya bekerja di PJKA Rangkasbitung, namun diberhentikan karena terlibat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI)," ujar Atang.
Menurut dia, sejak dulu keluarga Jaja sangat berbeda keyakinan dengan tetangga, seperti masalah sholat berjamaah, mereka belum pernah melakukan di masjid terdekat. Bahkan, dia mengharamkan sholat berjamaah di masjid.
Kematian Jaja sebagai tersangka teroris yang tewas dalam penyergapan di Aceh Besar, pun menurut Tatang ditanggapi dingin oleh warga setempat.
"Kami awalnya merasa kaget karena Jaja masuk jaringan terorisme," katanya.
Menurut Atang, Jaja terakhir pulang ke kampung halaman tahun 1994 dan saat itu dia menjabat sebagai direktur CV Sajira Multi Karya yang bergerak bidang jasa ekspedisi.
"Saya tidak mengira Jaja sebagai pimpinan terorisme wilayah Banten, padahal sikapnya ramah, baik dan pandai juga sering membantu orang lain," katanya.
Sementara itu, keluarga Jaja yang berangkat ke Rumah Sakit Polri, Jakarta Timur, untuk mencocokkan identitas jenazah sampai sekarang belum diketahui kabarnya.
"Saya belum menerima kabar kedatangan jasad jenazah Jaja dari Jakarta," kata anggota keluarga yang enggan disebutkan namanya.
(U.KR-MSR/S026)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010