"Hampir semua perusahaan migas dunia sudah membentuk subholding, antara lain Total, Chevron, Premier Oil, dan bahkan Petronas. Pertamina harus mengikuti supaya tidak tertinggal dan bisa meningkatkan daya saing,” ujarnya dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Menurut dia, kompleksnya tantangan, membuat industri energi global dituntut untuk bisa membuat keputusan yang cepat dan akurat, namun tetap sesuai garis kebijakan perusahaan.
Baca juga: Pakar Migas: Restrukturisasi Pertamina bukan "spin off"
Dia mencontohkan terkait eksplorasi, investasi, atau jika di lapangan menghadapi kendala yang harus segera diputuskan dengan segera maka keberadaan subholding, bisa membuat perusahaan mengambil keputusan dengan cepat, karena tidak membutuhkan birokrasi yang panjang dan lama.
Meskipun demikian, tambahnya, subholding tidak bisa bergerak semaunya karena masih terikat dengan kebijakan holding induk, dalam hal ini, subholding adalah pelaksana dari kebijakan holding.
"Pertamina sebagai holding, misalnya, bertugas memberi garis kebijakan dan mengawasi pelaksanaan yang dilakukan subholding-nya," kata dia.
Baca juga: Pakar: Restrukturisasi dan IPO subholding Pertamina tak langgar UU
Selain membuat lebih lincah, menurut Fahmy, pembentukan subholding juga menjadikan Pertamina sebagai holding juga lebih efisien sebab, masing-masing subholding akan menangani beberapa anak usaha sejenis, sehingga bisa disinergikan dan menghindari over lapping.
Terkait hal itu, Fahmy tidak sependapat jika restrukturisasi dinilai akan merugikan keuangan negara, sebaliknya justru pembentukan subholding akan menguntungkan negara.
Jika masuk bursa saham, dia mencontohkan, maka akan memperoleh uang segar dengan dana kapital rendah, selain itu, jika subholding meraup laba, maka akan diserahkan kepada Pertamina sebagai holding selanjutnya akan disetorkan kepada Bendahara Negara.
Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020