"Banyak yang menyebutnya periode khilaf. Secara formal NU adalah organisasi sosial kemasyarakatan tapi perilakunya adalah perilaku partai politik," kata Masdar saat acara tahlilan 100 hari meninggalnya HM Said Budairy, tokoh NU yang turut memelopori NU kembali ke "khittah", di Jakarta, Minggu.
Menurut Masdar, periode tidak jelas NU itu dimulai sejak 1999. Ia mengatakan, banyak faktor yang menjadi penyebabnya terutama euforia reformasi dan kebebasan beraktivitas di dunia politik.
Namun, lanjut kandidat Ketua Umum PBNU itu, kondisi NU saat ini sudah disadari banyak pihak dan ada keinginan untuk mengembalikan NU ke "khittah", tujuan awal pendirian organisasi itu.
"Sekarang sudah banyak yang menyadari bahwa kondisi seperti ini tidak bisa diteruskan," kata Direktur Perhimpunan Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M) tersebut.
Menurut Masdar, NU mengalami empat fase. Fase pertama pada saat dilahirkan pada 1926 hingga 1953 yang disebutnya sebagai periode salaf atau awal. Saat itu NU benar-benar memainkan peran sebagai organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan.
Fase kedua dimulai ketika NU menjadi partai politik pada 1953 hingga 1984 sebelum pelaksanaan muktamar di Situbondo.
"Keinginan untuk menjadi partai politik semenjak tahun 1953 itu tentunya bukanlah keinginan perseorangan, tapi keinginan kolektif dan merupakan rekomendasi dari banyak pihak," katanya.
Fase ketiga dimulai setelah muktamar 1984, yang memutuskan NU kembali ke khittah dan mengambil jarak dengan politik praktis. Dalam periode ini, menurut Masdar, pada beberapa ukuran tertentu NU telah berhasil kembali ke jati diri semula, menjadi bagian dari kekuatan masyarakat sipil.
Namun fase ini berakhir pada 1999, sejak berakhirnya kepengurusan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan memasuki fase keempat yang disebutnya sebagai periode tidak jelas. (S024/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010