Jakarta (ANTARA) - Dewan Pengawas (Dewas) KPK menjatuhkan sanksi ringan kepada Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal karena dinilai terbukti melakukan pelanggaran etik, yaitu menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif.,
"Mengadili menyatakan terperiksa bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku, yaitu menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif dan harmonis yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 huruf a peraturan Dewan Pengawas No 02/2020 tentang penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK," kata Ketua Majelis Etik Tumpak Hatorangan Panggabean di dalam sidang etik di Gedung KPK Jakarta, Senin.
Pasal 5 ayat 1 huruf a peraturan Dewan Pengawas No 02/2020 adalah bab yang mengatur "Sinergi" yang berbunyi: Dalam mengimplementasikan Nilai Dasar Sinergi, setiap Insan Komisi wajib: (a) bersedia berkerja sama dan membangun kemitraan yang harmonis dengan seluruh pemangku kepentingan untuk menemukan dan melaksanakan solusi terbaik, bermanfaat, dan erkualitas;
Majelis etik yang terdiri dari Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho dan Syamsuddin Haris menjatuhkan hukuman teguran lisan kepada Aprizal.
"Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran lisan, yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai insan komisi senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi," tambah Tumpak.
Sanksi ringan berupa teguran lisan berarti dengan masa berlaku hukuman selama 1 bulan sehingga tidak dapat mengikuti program promosi, mutasi, rotasi, dan/atau tugas belajar/pelatihan baik yang diselenggarakan di dalam, maupun di luar negeri.
Baca juga: ICW pertanyakan sanksi ringan untuk Firli dari Dewas KPK
Terdapat sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam perbuatan Aprizal
"Hal memberatkan, terperiksa tidak menyadari pelanggaran yang dilakukan. Hal yang meringankan, terperiksa belum pernah dihukum melakukan pelanggaran etik dan pedoman perilaku KPK, terperiksa bersikap kooperatif sehingga memperlancar jalannya persidangan," kata Albertina.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai Aprizal terbukti keliru dalam menggunakan istilah "OTT" saat melaporkan kepada pimpinan KPK mengenai pendampingan tim Pengaduan Masyarakat (Dumas) di tim Inspektorat Jenderal Kemendikbud.
Awalnya Irjen Kemendibud Mukhlis pada 15 Mei 2020 meminta tim Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK untuk membantu tim Itjen Kemendibud terkait pemberian suap ke pejabat Kemendikbud untuk mempercepat gelar profesor rektor UNJ dengan pemberi suap adalah Kepala Biro UNJ dan penerima adalah Kepala Biro SDM Kemendibud dan pejabat terkait lainnya.
Sudah disita uang sebanyak 1.200 dolar AS, Rp8 juta, CCTV serta "chat whatsapp" berisi perintah rektor UNJ kepada Kepala Bagian SDM UNJ.
Selanjutnya Aprizal menurunkan tim untuk mendampingi kegiatan tersebut pada 20 Mei 2020, namun laporan yang diberikan kepada Deputi PIPM KPK Herry Muryanto dan Deputi Penindakan KPK Karyoto tetap menggunakan istilah Operasi Tangkap Tangan (OTT).
"Terperiksa membuat 'whatsapp' adanya OTT hanya berdasar informasi awal yang tidak sesuai di lapangan yaitu pemberian uang bukan untuk mempercepat gelar profesor tapi untuk pemberian THR dan tidak berusaha meralat sehingga informasi tidak sesuai dengan kenyataan realita di lapangan," tambah Albertina.
Baca juga: Dewas KPK jelaskan alasan Firli hanya dapat sanksi ringan
Penggunaan istilah "OTT" oleh Aprizal yang juga diteruskan kepada lima orang pimpinan KPK membuat kerancuan.
"Istilah OTT menurut terperiksa hanya meneruskan dari tim satgas (satuan tugas) dengan tidak ada maksud OTT dan mengatakan sudah ada preseden sebelumnya karena istilah OTT untuk mempermudah karena sudah dipahami sebelumnya tapi ternyata bukan untuk mempermudah malah akhirnya dipahami sudah terjadi OTT seperti yang lazim terjadi di kedeputian penindakan KPK," ungkap Albertina.
Majelis etik berpendapat bahwa Aprizal tidak patut membuat "whatsapp" pelaksanaan kegiatan menggunakan istilah "OTT" dengan alasan hanya meneruskan dari tim satgas dan mempermudah bahasa saja.
"Karena terperiksa tahu yang dilakukan dumas hanya membantu Itjen Kemendibud. Dengan 'whatsapp' seperti itu maka ada yang berpendapat bahwa sudah OTT di Kemendibud tapi ada juga yang berpendapat apa yang dilakukan Dumas sama seperti yang dilakukan saat di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yaitu mendampingi Badan Pengawas MA sehingga saling menyalahkan dan menciptakan suasana kerja tidak kondusif," tambah Albertina.
Selain itu pernyataan Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada media massa pada 21 Mei 2020 yang juga menggunakan istilah "OTT" malah membuat pandangan negatif masyarakat untuk KPK.
"Hal tersebut membuat pandangan negatif dari masyarakat dan berdampak pada ketidakpercayaan atau 'distrust' masyarakat terhadap Kedeputian PIPM KPK sehingga terperiksa terbukti melakukan pelanggaran kode etik pasal 5 ayat 1 huruf a peraturan Dewan Pengawas No 02/2020," ungkap Albertina.
Namun majelis etik sepakat bahwa tindakan yang dilakukan tim dumas KPK bukanlah OTT melainkan pendampingan dalam bentuk koordinasi.
"Majelis sependapat dengan pembelaan terperiksa dan pendampingnya bahwa kegiatan di Kemendibud ini bukanlah OTT, yang menjadi permsalahan bukan kegiatan tersebut OTT tapi laporan terperiksa dalam 'whatsapp' ke saksi 1 Karyoto dan pimpinan," kata Albertina.
Atas putusan tersebut, Aprizal menyatakan menerima putusan.
Baca juga: Dewan Pengawas KPK dinilai kontraproduktif selama 6 bulan bekerja
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020