Jakarta (ANTARA News) - Budaya malu (shame culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia termasuk kita. Intinya merupakan wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari publisitas saja.

Marilah kita menelsuri sikap hidup (way of life) dan dasar falsafah hidup masyarakat Jepang. Falsafah kuno, Konfusianisme yang berasal dari China banyak diserap para pendidik besar Jepang, sebut, mulai dari Baigan Ishido yang hidup dalam eranya Edo (1600-1867) menyampaikan pada masyarakat Jepang prinsip hidup dalam berinteraksi bisnis :

1.Seorang pengusaha sejati memperoleh laba untuk dirinya dan untuk orang lain. Jadi bukan egoistik dasarnya,

2.Jangan memaksa pelanggan membeli dengan menyembunyikan produk/jasa yang justru disukai pelanggan,

3.Usahakan hanya menjual produk/jasa yang memberi manfaat (beneficial) pada para pelanggan.

Sampai kinipun, bagi masyarakat Jepang moral/akhlak konsep rinri (bertata-krama), jiwanya dari China kuno. Ajaran Konfusianisme di Jepang sebagai falsafah hidup dijunjung tinggi sebagai panduan yang menjiwai identitas dan tanggung jawab tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi juga dalam keseharian pelayanan brokrasi dan kelincahan bisnis/mencari untung dengan pertanggungjawaban sosial.

Petuahnya dijunjung tinggi dan diwujudkan sebagai panduan perilaku bisnis sampai sekarang di sana, meskipun tidak eksplisit. Yang terhitung dalam ‘rinri’ intinya sebagai pemahaman tentang respek dan rasa malu. Respek berarti tahu diri dan menghargai orang lain tidak hanya dalam keseharian keluarga, tapi dalam interaksi bisnis antara pengusaha dan masyarakat pasar. Pada gilirannya, mereka yang tidak memiliki rasa malu dianggap memiliki kualitas minimal (minimum quality of a human being).

Keberingasan dan kekejaman dalam hidup sebagai banyak dipraktikkan Barat sangat berlawanan dengan sikap hidup dasar (way of life) Jepang. Permusuhan dan kekejaman dalam berbisnis dan interaksi sosial ujung-ujungnya merupakan kesalahan fatal.

Filsuf kuno Konfusius sudah zaman dulu mengungkapkan secara halus berikut ini “... kesalahan mendasar kita adalah mempunyai kesalahan dan tidak sudi memperbaikinya (the real fault is to have faults and not to amend it).” Setiap kali seorang Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu menggugat diri dengan melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri bahkan ada yang sampai ber-harakiri (bunuh diri), karena rasa malu.

Bagaimana kita? Dalam sikap dan tingkah laku tergesa-gesa, apa masih sadar dan mau menjiwai budaya malu tatkala bohong atau dengan muka sok paling jujur berhadapan dengan kawan atau lawan bicara, dan sampai hati menyalahkan tanpa mau menghargai/mendengar dulu sikap kawan atau pandang lawan bicara, hanya demi kemenangan uang?

Setiap anggota masyarakat harus berani dengan fokus menatap cermin setiap pagi sebelum sarapan dan malam sebelum tidur selama 60 detik/satu menit, mengugat diri dan bertanya yang ada di cermin masih menghayati etika atau sudah luntur budaya malunya ?

Terungkap sekalipun tidak ekspilisit membangun saling percaya dalam era keterbukaan dalam masyarakat kecil sampai internasional, makin sulit dan rumit. Yang seringkali menonjol justru adalah saling mencurigai (mutual distrust), antar-pelaku organisasi sipil dan bisnis, antar-berbagai kalangan masyarakat sipil (civil society), antar-masyarakat pasar dengan bisnis, sekalipun dipolesi dengan senyum simpul yang tampak tawar.

Kembali ke dasar-dasar kehidupan manusia yang harmonis berarti merupakan langkah utama mereformasi diri, tanpa banyak gebyar-gebyar/publisitas polesan. Tegasnya dalam arti dari perilaku saling mencurigai, kembali membangun rangkaian saling mempercayai (from a series of distrust to a network of trust).

Dalam era yang banyak didengung-dengungkan sebagai era globalisasi yang patut disadari globalisasi tidak berarti uniformitas menurut tafsiran pencetusnya istilahnya, yakni kalangan elit Amerika. Dalam tradisi teori mereka, pasar bebas dalam arti yang kuat menguasai yang lemah, dan istilah moralitas, sistem nilai etika, masing-masing individu hanya dipermukaan saja.

Merasionalkan egoisme Barat sebagai prinsip “untuk saya dulu untungnya dan manfaatnya, anda nanti nanti saja atau biarlah anda menderita fisik dan psikis saja”. Lalu dengan keterbukaan sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, apa kita terus menjiplak dengan membiarkan gejala egoisme tersebut dalam masyarakat kota dan terus menjalar ke pinggiran kota (sub-urbans) dan desa?

Dalam lokasi masyarakat dengan interaksi sosial yang makin terbuka meluas, tenggang rasa pada orang lain, sejatinya merupakan salah satu kunci yang lebih bermutu. Walaupun realita dunia yang makin terbuka, tantangan terus menerus menggugat diri masing masing terutama yang hidup di kawawan kota dan pinggiran kota (sub-urban).

Mengapa dalam era keterbukaan dan inovasi informasi komunikasi melalui sarana Internet, facebook dan twitter yang serba cepat, ada yang sampai hati sengaja lupa diri demi egoisme ala Barat menjatuhkan martabat orang lain yang ujung-ujungnya diri sendiri?

Oleh karena itu dalam setiap kehidupan keluarga dan bermasyarakat secara kontinu sehari-hari dengan sikap pandang etis ini masin-masing anggota masyarakat yang dilayani merasa dipercayai dan sebagai timbal balik mau tulus mempercayai dengan membalas budi dan jasa mutu sesama dalam interaksi sosial.

*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi bisnis Asia; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar).

Oleh Bob Widyahartono MA *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010