Jakarta (ANTARA News) - Seorang bocah, ketika bermain di sebuah halaman dengan teman-temannya, bertanya kepada salah satu rekannya. Katanya, kenapa sih tahun baru agama Hindu justru di Bali jadi sepi.

Para pemeluk Agama Hindu di Jakarta juga tak banyak melakukan aktivitas. Padahal, Tahun baru, di berbagai tempat, biasanya disambut gembira dengan pesta. Bahkan ada yang dirayakan dengan kembang api.

Pertanyaan bocah itu masih berlanjut. Katanya, sekarang sulit mau liburan ke Bali. Bandara di Bali tutup. Pelabuhan penyebrangan juga tak ada kegiatan. Kenapa, sih?

Sederet pertanyaan dari bocah bersangkutan masih berhamburan, yang dijawab rekan yang masih sebaya dengan santai dan singkat, "ngak tahu, tuh".

Pertanyaan serupa terus diulangi sang bocah yang ingin memenuhi rasa ingin tehu kepada rekan-rekan lainnya. Jawaban yang diperoleh serupa saja, tidak tahu.

Sesungguhnya, pertanyaan seperti ini bukan hanya muncul di kalangan anak-anak dan para remaja. Di kalangan orangtua pun di sejumlah kota besar kerap mengemuka. Terutama menjelang dan pada saat perayaan Nyepi berlangsung.

Ini terjadi lantaran ketidaktahuan banyak orang dan, mungkin juga, tak mau tahu akan perayaan tahun baru bagi agama Hindu yang dikenal sebagai Hari Raya Nyepi itu.

Mengenal hari Raya Nyepi, dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika, perlu. Meski tak perlu terlalu dalam, tetapi tahu bahwa Nyepi merupakan hari besar Umat Hindu saja sudah cukup. Pemahaman ini tak terbatas bagi satu agama semata, tetapi umat agama lain pun perlu memahami sehingga penghayatan kehidupan dalam suasana toleransi makin kokoh di negeri ini.

Jadi, sungguh wajar jika seorang bocah bertanya kepada rekannya seperti itu. Terlebih lingkungan bocah bersangkutan berada di kota besar seperti Jakarta.

Dirjen Bimas Hindu, Prof. Dr. IB Yudha Triguna, mengatakan bahwa Umat Hindu justru di Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” - menurut sistem kalender Hindu Nusantara - merayakannya dengan sepi.

Layaknya menjawab pertanyaan bocah asal Jakarta itu, lantas Tri Guna menjelaskan, sepi yang kemudian dimaknai sebagai “Nyepi” mempunyai artinya membuat suasana sepi, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati geni), tanpa melakukan perjalanan keluar rumah (amati lelungaan) dan tanpa hiburan (amati lelanguan) yang dikenal dengan istilah “Catur berata penyepian”.

Di hari itu umat Hindu melakukan tapa, berata, yoga, samadhi untuk menyimpulkan serta menilai pribadi-pribadi dimasa lampau dan merencanakan hari depan lebih baik. Di hari itu dilakukan evaluasi diri, seberapa jauhkah tingkat pendakian rohani yang dicapainya, dan sudahkah mengerti pada hakekat tujuan kehidupan di dunia ini.

Dengan amati karya, menurut dia, umat Hindu mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan tapa, berata, yoga, dan samadhi; dalam suasana amati gni, pikiran akan lebih tercurah pada telusuran kebathinan yang tinggi; pembatasan gerak bepergian keluar rumah berupa amati lelungaan akan mengurung diri sendiri di suatu tempat tertentu untuk melakukan tapa, berata, yoga, samadhi.

Tempat itu bisa di rumah, di Pura atau di tempat suci lainnya. Tentu saja dalam prosesi itu umat Hindu wajib menghindarkan diri dari segala bentuk hiburan yang menyenangkan yang dinikmati melalui panca indria.

Kemampuan mengendalikan Panca Indria adalah dasar utama dalam mengendalikan Kayika, Wacika dan Manacika sehingga jika sudah terbiasa maka akan memudahkan pelaksanaan Tapa Yadnya.

Walaupun tidak dengan tegas dinyatakan, pada Hari Nyepi seharusnya berpuasa menurut kemampuan masing-masing.

Jenis-jenis puasa antara lain : tidak makan dan minum selama 24 jam, atau siang hari saja, atau bentuk puasa yang ringan yaitu hanya memakan nasi putih dengan air kelapa gading yang muda.

Setelah Nyepi, diharapkan umat Hindu memiliki nilai tertentu dalam evaluasi kiprah masa lalu dan rencana bentuk kehidupan selanjutnya yang mengacu pada kekurangan-kekurangan nilai dan meningkatkan kuwalitas beragama.

Demikianlah tahun demi tahun berlalu sehingga semakin lama umat Hindu mengerti hakekat kehidupan di dunia, yang pada gilirannya membentuk pribadi yang dharma, yaitu jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran dan menjauhkan hal-hal yang bersifat dharma.

Hari Raya Nyepi dan hari-hari Raya umat Hindu lainnya merupakan tonggak-tonggak peringatan penyadaran Dharma. Oleh karena itu kegiatan dalam menyambut datangnya hari raya itu semestinya tidak pada segi hura-hura dan kemeriahannya.

Seandainya mayoritas umat Hindu Nusantara menyadari hal ini, pastilah masyarakat yang Satyam (taat beragama), Siwam (kasih sayang), Sundaram (sejahtera materiil dan immateriil) akan dapat tercapai dengan mudah.

Satyam, Siwam, Sundaram adalah unsur-unsur yang sangat menentukan upaya manusia mencapai Moksartham Jagadhita (kebahagiaan lahir/bathin).

Hakekat kehidupan manusia di Bumi adalah menggunakan sebaik-baiknya kesempatan hidup yang singkat ini.

Kelola kemajemukan

Masyarakat Indonesia majemuk, yang terdiri atas berbagai agama, suku, bahasa, dan identitas etnik yang berbeda. Negara melindungi keberadaan agama dan menjamin kemerdekaan beragama sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Namun demikian, mengelola kemajemukan bukan persoalan yang mudah. Di satu sisi, setiap umat beragama sebagai komponen bangsa berkepentingan untuk memelihara asas keyakinan, indentitas dan memperjuangkan aspirasi keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di sisi lain, setiap golongan umat beragama juga dituntut untuk memberi andil dalam rangka memelihara kerukunan dan keutuhan bangsa.

Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara, adalah sekaligus sebagai "titik temu" untuk semua golongan umat beragama, kecuali mereka yang atheis, atau tidak mempercayai adanya Tuhan dan menolak eksistensi agama sebagai sendi spiritual bagi kehidupan manusia.

Masyarakat Indonesia dapat menjadi manusia yang taat beragama sekaligus warga negara yang aktif menjaga kerukunan beragama dan keutuhan bangsa.

Sebaliknya, untuk menjadi warga negara yang peduli pada kerukunan beragama dan keutuhan bangsa, tidak berarti murtad dari agama yang dianut.

Setiap umat beragama di tanah air mempunyai tanggung jawab bersama untuk memelihara nilai luhur kemanusiaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman dan penghayatan ajaran agama memiliki peranan yang amat penting untuk menumbuhkan dan memelihara nilai luhur kemanusiaan serta meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin.

Bangsa Indonesia patut bersyukur dalam beberapa tahun terakhir tak ada konflik keagamaan di negara kita, kecuali hanya kasus-kasus kecil yang dapat segera ditangani.

Kondisi yang positif tersebut perlu dipelihara, antara lain dengan meminimalkan dan menghilangkan sebabsebab terjadinya benturan dan konflik di masa-masa mendatang.

Untuk itu turut memperkuat pembinaan moralitas kemanusiaan, dan memperkuat kerukunan di dalam masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan. Hal itu bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga, selanjutnya sekolah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Ketaatan

Prof. Dr. IB Yudha Triguna mengatakan pada dasarnya agama tidak sekadar hafalan, tetapi agama mesti dilihat sebagai sebuah ideologi sehingga umat mampu berdisiplin dan berbudi luhur.

Disiplin tidak hanya berarti tepat waktu (on time). Disiplin itu mengandung pengertian bahwa umat bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Tuhan dan menghindari larangan-larangan-Nya. Itu berarti yang dipentingkan bukan seberapa luas pengetahuan agama yang dimiliki, tetapi seberapa taat umat mampu menjalani perintah agama.

Karena itu, dalam konteks mewujudkan perdamaian, umat mesti mampu melaksanakan brata atau pengendalian diri. Dengan memiliki benteng pengendalian diri yang kuat, umat akan mampu mengalahkan musuh-musuh yang ada pada dirinya. Godaan-godaan yang datang pun dengan mudah dapat ditaklukkan. Konsep pengendalian diri seperti itu sudah dituangkan dalam perayaan hari besar keagamaan Hindu yang dikenal dengan Nyepi.

Dalam merayakan Nyepi, umat diajarkan untuk mengendalikan diri lewat brata penyepian -- amati geni, amati karya, amati lelungan dan amati lelanguan. Dengan mampu mengendalikan diri diharapkan tercipta kedamaian.

"Umat jangan sampai selalu berharap orang lain yang menaati dan menyucikan hari-hari yang dianggap penting seperti Nyepi, sementara dirinya sendiri tidak pernah berusaha menjalankan perintah Tuhan dan mengurangi ketergantungan terhadap hal-hal yang berbau duniawi. Oleh karena itu, pada momen hari raya yang baik ini umat mesti berusaha menjalankan perintah-Nya," ujarnya.

Dalam konteks kerukunan umat beragama di tanah air, dewasa ini banyak mengalami kemajuan. Kesadaran umat dan keterlibatan aktif berbagai instansi pemerintah dalam memfasilitasi dan mendorong dialog-dialog dan kerjasama antar umat beragama telah dimulai sejak 1967 hingga sekarang.

Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama untuk memelihara kerukunan umat beragama, memang, terus menerus harus didorong agar mampu menyelesaikan sendiri masalah yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Tentu, Kementerian Agama, telah memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama.

Dengan demikian, momentum perayaan nyepi dapat dijadikan sebagai inspirasi mengenal jatidiri bangsa. Memperkenalkan nyepi kepada lapisan masyarakat dalam masyarakat majemuk, sangatlah penting. Ke depan, jika ada pertanyaan tahun baru tanpa pesta, orang banyak pasti akan tahu bahwa peristiwa itu adalah sebuah ritual yang dilangsungkan umat Hindu.
(T. ANT/P003)

Oleh Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010