Kupang (ANTARA News) - Tuntutan ganti rugi yang diajukan Indonesia kepada Australia senilai Rp510 miliar atas pencemaran minyak di Laut Timor dinilai terlalu rendah dan tidak rasional jika dibandingkan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
"Dari mana Tim Nasional Penanggulangan Pencemaran Laut Timor mendapatkan angka tersebut sebagai kompensasi terhadap kerusakan ekologis dan ekonomis di Laut Timor akibat pencemaran," kata pemerhati masalah Laut Timor, Ferdi Tanoni, di Kupang, Sabtu.
Mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia itu menegaskan, Tim Nasional Penanggulangan Pencemaran Laut Timor itu hanya dua hari melakukan kunjungan di Nusa Tenggara Timur (NTT) tanpa melakukan penelitian.
"Dari mana Timnas bisa mendapatkan angka kerugian tersebut ? Untuk mengetahui kerusakan ekologis dan ekonomis di Laut Timor butuh waktu penelitian yang lama, apalagi Timnas tidak pernah melakukan penelitian," ujarnya.
Penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Ekonomi Politik Canberra-Jakarta" itu mengatakan, Indonesia terlalu cepat mengajukan klaim kepada Australia soal pencemaran minyak di Laut Timor akibat meledaknya sumur minyak Montara pada 21 Agustus 2009 lalu.
Menurut Tanoni perlu dilakukan sebuah penyelidikan yang mendalam terhadap luas pencemaran di Laut Timor serta berapa banyaknya nelayan dan petani rumput laut di NTT yang merasakan langsung dampak dari pencemaran tersebut.
"Hasil penyelidikan inilah yang menjadi dasar acuan kita (Indonesia) untuk menuntut ganti rugi kepada Australia dan operator ladang minyak Montara, PTTEP Australasia atas pencemaran Laut Timor. Timnas tidak pernah melakukan penelitian koq bisa mendapatkan angka ganti rugi. Aneh..," kata Tanoni.
Ia melihat ada sebuah keanehan terkait masalah ganti rugi ini, karena diumumkan oleh Tim Nasional Penanggulangan Pencemaran Laut Timor pascakunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia.
(T.L003/S026)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010