ini adalah undang-undang untuk anak-anak muda yang di mana bonus demografi pada 2035 sedang puncak-puncaknya

Jakarta (ANTARA) - Sebagai salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi, investasi, jadi sorotan untuk bisa terus digenjot meski kondisi pandemi COVID-19 terus menghantui sentimen para investor.

Namun, meski kerap membanggakan diri sebagai destinasi investasi potensial karena memiliki pasar yang besar hingga bonus demografi, nyatanya berinvestasi di Indonesia belum semulus jalan bebas hambatan.

Salah satu masalah utama investasi di Tanah Air yakni rumit dan berbelit-belitnya birokrasi serta tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah. Selain masalah lain seperti harga lahan, perizinan daerah, hingga daya saing tenaga kerja lokal.

Pemerintah pun menyadari masalah klasik untuk bisa menarik para pemodal ke Indonesia ini. Hingga kemudian akhirnya, pemerintah mengesahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.

Di tengah kondisi pandemi COVID-19, upaya untuk bisa menarik investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) menjadi lebih berat. Pasalnya, selain harus bersaing dengan negara lain, Indonesia juga perlu berjuang menangani pandemi, yang dinilai menjadi salah satu indikator yang akan pula mempengaruhi daya tarik investasi.

Dalam penelitiannya mengenai dampak pandemi terhadap ekonomi, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyebut pandemi akan menekan aliran FDI. UNCTAD bahkan memprediksi FDI global akan turun 30-40 persen tahun ini.

Sayangnya, meski Indonesia punya peluang besar menarik investasi global karena pasar yang besar, rumitnya peraturan yang ada membuat investor enggan masuk.

Tercatat ada lebih dari 15 ribu peraturan menteri di Indonesia yang perbandingannya kira-kira tujuh untuk setiap satu Peraturan Presiden. Sebagian besar mungkin masih berlaku, karena 95 persen dikeluarkan dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan asumsi beberapa investor asing ingin mendirikan pabrik di Indonesia untuk memasok pasar domestik, maka mereka harus berhadapan dengan lebih dari 900 aturan tenaga kerja dan industri. Begitu pula jika mereka ingin mengimpor atau mengekspor produk akhir apa pun, mereka juga harus berhadapan dengan banyak aturan lainnya.

"Regulasi yang rumit dan banyak itulah yang kerap diklaim sebagai faktor yang berkontribusi pada terhambatnya investasi di Indonesia," kata Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta.

Regulasi rumit dan berbelit itulah yang kemudian membuat Omnibus Law Cipta Kerja jadi krusial.

Tangkapan layar - Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dalam paparan realisasi investasi triwulan II 2020. (ANTARA/Ade Irma Junida/am.)



Kemudahan investasi

Pemerintah mengklaim UU Cipta Kerja sebagai solusi untuk memberikan kemudahan berinvestasi bagi para investor karena akan memberikan kepastian proses izin investasi.

Solusi masalah perizinan baik di daerah maupun pusat yang prosesnya terkatung-katung karena bisa segera diselesaikan melalui perintah khusus Presiden RI.

Perizinan daerah akan ditarik ke pusat dan didelegasikan kembali ke daerah beserta dengan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang terukur oleh Pemerintah Pusat.

Selain itu, perizinan di Kementerian/Lembaga (K/L) juga akan ditarik kepada Presiden dan didelegasikan kembali dengan Peraturan Pemerintah.

"Jadi jelas semua perizinan ada jangka waktunya. Jangan seperti sekarang, waktunya tidak jelas," kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.

Kemudahan berinvestasi itu diharapkan membuat investor lebih mudah masuk dan menanamkan modal di Indonesia. Dengan demikian, lapangan kerja bisa tercipta dengan masuknya investasi.

Melalui penyerapan tenaga kerja dalam negeri, diharapkan dapat mendorong daya beli yang akan menggenjot perekonomian Indonesia. Dengan demikian, tujuan untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah bisa dicapai.

Karena tujuan tersebut, Bahlil bahkan menyebut UU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai UU masa depan karena akan dapat mengakomodir bonus demografi yang akan Indonesia raih pada tahun 2035.

"Ini adalah undang-undang masa depan, ini adalah undang-undang untuk anak-anak muda yang di mana bonus demografi pada 2035 sedang puncak-puncaknya. Bayangkan kalau ini tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk adik-adik kita, kita akan menjadi generasi yang akan menyesal di kemudian hari," katanya.

Foto udara pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) gas metana di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/1/2019). Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah membuka kesempatan bagi pemodal asing berinvestasi di PLTSa untuk mendukung upaya mengelola energi terbarukan yang ditargetkan di 12 kota yakni DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang dan Manado. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.


Pro dan kontra

UU Cipta Kerja yang menggabungan 76 UU dan 1.203 pasal di mana sembilan dari 10 klaster yang berhubungan dengan perizinan usaha diharapkan akan jadi langkah reformasi ekonomi melalui perizinan yang lebih mudah.

Reformasi perizinan dinilai jadi satu hal yang ditunggu-tunggu untuk mengatasi kendala para investor untuk masuk ke Indonesia.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengataka regulasi dalam UU Cipta Kerja dinilai dapat memberikan kemudahan usaha yang dalam jangka menengah panjang dapat meningkatkan gairah investasi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

"Di dalam Omnibus Law itu diberikan semacam legal basis untuk memperbaiki aturan di daerah. Begitu juga misalnya masalah perizinan atau juga masalah limitasi yang selama ini ada untuk investasi. Sebelumnya banyak sekali di undang-undang itu pembatasan-pembatasan untuk investasi," katanya.

Kendati tujuannya bagus dan memang harus dilakukan, sejumlah pasal, utamanya mengenai bab ketenagakerjaan menuai kontroversial, karena dinilai menekan kesejahteraan pekerja hingga mempermudah masuknya tenaga kerja asing.

Hal lain yang perlu jadi perhatian, yakni pengesahan UU Cipta Kerja di tengah pandemi yang tengah terjadi. Kondisi pandemi diyakini membuat mobilitas terganggu serta menurunkan daya beli masyarakat dan kapasitas produksi industri sehingga investor masih enggan berinvestasi.

Belum lagi ditambah penanganan kasus COVID-19 di dalam negeri yang belum sepenuhnya bisa ditaklukan pemerintah dinilai mempengaruhi minat investor.

Menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan, saat ini hal yang paling relevan adalah respons pemerintah terhadap pandemi, baik dari upaya penanggulangan penyebaran, kepastian regulasi yang memberikan jaminan bagi para pelaku usaha ketika menanamkan modalnya maupun merelokasi usahanya, serta kebijakan lain yang dapat menjaga kondusivitas sosial.

"Sebenarnya stabilitas sosial juga sangat penting dan tidak boleh luput dari fokus pemerintah. Stabilitas sosial yang dimaksudkan di sini bisa kita lihat dari kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, baik pusat maupun daerah guna merespon dinamika sosial yang terjadi di masyarakat," katanya.

Upaya untuk memperbaiki iklim investasi yang buruk memang jadi pekerjaan rumah Indonesia sejak lama. Perbaikan memang harus dilakukan segera. Namun, kondisi global yang tidak menentu karena pandemi juga sepatutnya menjadi pertimbangan pemerintah.

Meski demikian, optimisme pemerintah untuk menggelar karpet merah guna menyambut investasi perlu diapresiasi sambil berharap semoga arus modal yang diharapkan bisa mensejahterakan rakyat benar-benar terasa manfaatnya.

Baca juga: Bahlil: UU Cipta Kerja adalah UU masa depan
Baca juga: Bahlil sebut 153 perusahaan akan masuk RI setelah Omnibus Law disahkan

Baca juga: Bahlil: Dana SWF bisa digunakan untuk bangun ibu kota baru

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2020