Jakarta (ANTARA News) - Karena rakyat semakin pragmatis maka para wakil rakyat yang duduk di DPR atau DPRD juga semakin tidak aspiratif, kata pakar politik Prof Dr Bahtiar Effendi.
"Wajar jika wakil rakyat di DPR sekarang dikatakan semakin tidak peduli pada aspirasi rakyat, karena mereka sudah merasa membayar rakyat pada masa kampanye," katanya pada Seminar "Membaca Ulang Peran Sosial Politik Organisasi Keagamaan Islam di Era Reformasi" di kantor LIPI Jakarta, Kamis.
Menurut Dekan FISIP UI Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, di masa demokratisasi ketika pelaksanaan pemilu sudah menjadi hal yang terlalu sering dilaksanakan, maka rakyat semakin berpikir pragmatis.
"Rakyat semakin pragmatis, hanya mau datang ke kampanye yang ada uang, hanya mau memilih calon anggota legislatif yang memberi Rp20 ribu, politik uang jadi hal biasa," katanya.
Akibatnya, ketika sang calon anggota dewan itu terpilih menjadi anggota legislatif yang sah, dia menjadi tidak aspiratif, karena sudah merasa membayar rakyat pemilihnya dan tak lagi memiliki utang, katanya.
Bahtiar juga mengatakan, saat ini tokoh organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagamaan tidak lagi menjadi panutan dan perkataannya tidak lagi dipatuhi oleh massanya.
Dukungan ketua sebuah organisasi kemasyarakatan atau keagamaan kepada seorang calon presiden dalam kampanye pemilu tidak lagi berpengaruh pada peningkatan suara, katanya.
"Massa punya pilihan sendiri, kalau tidak karena uang, karena ada figur yang diminati, misalnya untuk tahun 2004 dan 2009, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono -red)," katanya.
Pilihan rakyat juga bukan karena program-program yang dibawa partai pendukungnya, katanya.
Kemenangan Partai Demokrat, ujar dia, bukan berarti karena program-program Partai Demokrat bagus, tetapi karena partai-partai lain tidak punya figur yang bisa dijual.
"Program Partai Demokrat tidak lebih bagus dari Partai Hanura," katanya sambil menambahkan, bahwa tidak ada jaminan Partai Demokrat tetap diminati di masa yang akan datang. (D009/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010