Tanyakan pada suku Maya yang hidup 400 SM di Guatemala utara soal cokelat. Mereka tak akan ragu mendefinisikan Theobroma cacao itu sebagai simbol cinta.
Pada abad 17, cokelat dikenal sebagai minuman penyegar bagi pangeran-pangeran di Istana Spanyol yang sedang jatuh cinta.
Cokelat menyeberang ke Indonesia berpencar keenam sentra terbesar perkebunan dan menjelma sebagai kelaziman sebagai bingkisan hari raya, ucapan terima kasih, simpati, perhatian, dan tentu saja ungkapan cinta.
Olahan biji kakao itu memang amat populer, berkelas, dan mudah diterima siapapun. Kabar baiknya, Indonesia memiliki tempat khusus dalam industri kakao dunia.
Alam Indonesia yang mempesona sebagian di antaranya, yakni seluas 1,2 juta ha, adalah lahan kakao dengan produksi rata-rata sampai saat ini 600.000 metrik ton.
Fakta itu menjadikan Indonesia potensial sebagai produsen kakao terbesar dunia.
Kabar buruknya: kualitas kakao Indonesia dikenal rendah, sehingga Indonesia harus berpuas menempati posisi ketiga produsen kakao terbesar setelah Pantai Gading dan Ghana.
Lantas, pantaskan menyatakan cinta dengan cokelat Indonesia yang dikenal rendah mutunya? Jawabannya adalah sangat pantas dengan lebih dahulu memeramnya 3-4 hari dalam keranjang.
"Itulah jawaban bagi peningkatan kualitas kakao Indonesia. Langkah fermentasi yang selama ini dilewati telah menjadikan kualitas kakao kita rendah," kata Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Halim A Razak.
Dengan kualitas kakao meningkat, biji kakao akan menjadi olahan paling bermutu yang amat pantas menjadi simbol kemurnian cinta.
Bayangkan pula efek lanjutan yang timbul di belakangnya, harga kakao melonjak, kesejahteraan petani kakao Indonesia membaik. Askindo pun bakal mengatakan cinta dengan cokelat kepada mereka.
Enggan fermentasi
Askindo, setelah 20 tahun melakukan kajian, mendapatkan kesimpulan sementara bahwa petani kakao Indonesia enggan memfermentasi kakao lantaran tidak mendapatkan kepastian pasar dan harga biji cokelat.
"Ini tidak rumit karena artinya kita harus menciptakan iklim, kondisi, atau sistem yang membuat rantai petani, penjual, dan pembeli kakao memiliki kepastian pasar dan harga. Itu inti persoalannya," katanya.
Ia menambahkan, sebanyak 97 persen kakao Indonesia tidak melalui proses fermentasi disebabkan banyak faktor yang menyebabkan petani kakao tidak tertarik melakukan proses tersebut.
Menurut dia, idealnya perlakuan terhadap kakao dimulai dari petik pohon, dibuka untuk diambil bijinya, kemudian diperam selama 3-4 hari dalam keranjang, setelah itu dijemur.
"Yang dilakukan petani saat ini adalah petik pohon, dibuka diambil bijinya lalu langsung dijemur. Jadi ada proses yang dilangkahi yakni proses pemeraman," katanya.
Proses fermentasi kakao akan meningkatkan kualitas biji cokelat karena fermentasi akan menimbulkan aroma harum biji cokelat.
Dari sisi harga, kakao fermentasi laku di pasaran internasional 200-300 dolar per ton lebih tinggi ketimbang kakao nonfermentasi.
Paceklik
Bukan hanya Mbah Minah di Banyumas, Jawa Tengah, yang harus menelan kenyaataan pahit berhadapan dengan kakao. Hampir seluruh petani biji cokelat kini sedang mengalami masa sulit berkepanjangan.
Sekretaris Jenderal Askindo Zulhefi Sikumbang mengatakan, industri kakao khususnya tahap setengah jadi kakao (grinder) di Indonesia saat ini dalam keadaan paceklik dalam berbagai hal.
"Harga bahan baku yang sangat tinggi atau naik 300 persen sedangkan harga jual produk relatif turun, sehingga dalam lima tahun terakhir ini industri ini mengalami kesulitan dan tidak berkembang," katanya.
Krisis finansial memperburuk keadaan yang menyebabkan pembayaran dari pembeli tidak lancar dan sering mundur sampai dua bulan yang berimbas ke "cash flow".
Keadaan diperparah dengan banyaknya pedagang asing yang lebih agresif membeli kakao sampai ke sentra produksi dengan pembayaran tunai dan mempunyai kontrak dengan pembeli di luar negeri.
Market yang oligopoli membuat ruang gerak kakao kian sempit. Sampai saat ini ada enam pembeli utama dunia yang menguasai rantai perdagangan mulai biji kakao, produk olahan, industri makanan cokelat, sampai ke distribusinya.
"Apalagi kita juga sulit mendapatkan kakao fermentasi yang bercita rasa dan beraroma cokelat, sehingga harus diimpor dari Afrika," kata Zulhefi.
Ia menyimpulkan, bila industri pengolahan kakao dengan hasil produksi (rendemen) 80 persen dan harga bahan baku yang mahal serta harga produk olahan ditekan oleh pembeli, maka industri itu tidak memiliki nilai tambah dan dalam kurun waktu sampai lima tahun terakhir ini selalu dalam keadaan merugi.
"Upaya yang harus dilakukan adalah mengajak `pemain besar` untuk mau mengembangkan industrinya di Indonesia atau memperbanyak industri makanan cokelat," katanya.
Pemain besar industri makanan cokelat di Indonesia adalah Ceres, Arnots, Orang Tua, Mayora, Garuda Food, Indofood, dan Gandum Mas.
"`Home industry` perlu didukung agar bisa bersaing dengan industri besar dengan memberikan beberapa insentif seperti bantuan modal, jaringan distribusi, dan promosi," katanya.
Ia sangat berharap dengan meningkatnya konsumsi cokelat maka akan meningkatkan permintaan dalam negeri sehingga tidak lagi bergantung pada pasar ekspor.
Menanggapi hal itu, Kementerian Koperasi dan UKM bertekad mengupayakan program peningkatan kualitas kakao Indonesia melalui intensifikasi dan ekstensifikasi fermentasi komoditas biji cokelat itu.
"Kita akan mengintensifkan dan memperluas kegiatan fermentasi kakao Indonesia," kata Deputi Bidang Pengembangan Restrukturisasi Usaha Kemenkop-UKM Choirul Djamhari.
Ia mengatakan, pihaknya menyinergikan program tersebut dengan sejumlah pemangku kepentingan dalam industri kakao mulai dari pabrikan, lembaga sertifikasi mutu, hingga lembaga keuangan.
Pihaknya juga akan memberikan fasilitas pendukung produksi dari mulai peralatan hingga bantuan perkuatan modal.
"Kami akan membuka akses kepada mereka dalam hal pendanaan, melalui skim yang sudah ada, misalnya KUR atau LPDB-KUMKM (Lembaga Pengelola Dana Bergulir-KUMKM)," kata Choirul.
Setelah itu, jangan pernah ragu untuk menyatakan cinta dengan cokelat Indonesia. Bayangkan betapa banyak petani kakao yang tersenyum setelahnya. (H016/A038)
Oleh oleh Hanni Sofia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010