Kudus (ANTARA News) - Fatwa haram merokok yang dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah meresahkan para buruh di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang bekerja di sektor rokok.

Ismah (34), salah seorang buruh rokok di Kudus, Kamis mengaku, resah dengan fatwa haram merokok tersebut, karena kehidupan keluarganya juga dicukupi dari hasil kerja sebagai buruh rokok.

"Jika merokok difatwakan haram, tentu pekerjaan saya sebagai buruh rokok juga bisa dianggap haram pula," ujarnya.

Seharusnya, kata ibu dua anak tersebut, fatwa haram merokok dikeluarkan sejak lama, sebelum industri rokok di sejumlah daerah berkembang cukup pesat.

Selain itu, kata dia, nasib para buruh rokok juga harus dipikirkan sebelum fatwa tersebut dikeluarkan. "Artinya, mereka juga harus memikirkan pekerjaan alternatif selain sebagai buruh rokok," ujarnya.

Pernyataan senada disampaikan Rukilah, buruh rokok di Pabrik Rokok (PR) Kembang Arum di Desa Mijen, Kecamatan Kaliwungu, Kudus.

Ia mengatakan, kebijakan mengeluarkan fatwa merokok haram harus mempertimbangkan nasib buruh rokok yang bekerja selama bertahun-tahun.

"Untuk menekuni usaha secara mandiri juga terkendala permodalan, sedangkan bekerja di sektor lain tentu sulit dilakukan karena faktor usia," ujarnya.

Sementara itu, salah satu pengusaha rokok golongan III di Kudus, Peter MF menyatakan tidak setuju adanya fatwa haram merokok tersebut, mengingat jumlah buruh yang bekerja di sektor rokok cukup banyak.

"Jika pengusaha rokok berhenti produksi, tentu tidak terlalu memberatkan karena masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Tetapi, para buruh rokok belum tentu bisa melakukan hal serupa karena penghasilannya sangat tergantung dari industri rokok," ujarnya.

Kalaupun merokok difatwakan makruh, dia mengaku, setuju karena dari sisi kesehatan dianggap mengganggu.

Ia khawatir, fatwa haram merokok tersebut justru berupaya untuk mematikan industri rokok yang menyerap ribuan buruh.

Meski demikian, dia mengaku, tetap memproduksi rokok karena dampak fatwa terhadap penjualan rokok di pasaran dipastikan tidak terlalu signifikan. "Pasalnya, sebagian masyarakat Indonesia memang memiliki kebiasaan merokok," ujarnya.

"Selama tidak ada ketentuan dari pemerintah soal fatwa merokok tersebut, produksi rokok tetap berjalan," tukasnya.

Seharusnya, kata dia, sebelum fatwa merokok tersebut dikeluarkan, solusi terhadap para buruh yang bekerja di sektor rokok juga dipikirkan. "Artinya, ketika fatwa merokok dikeluarkan, para buruh rokok langsung mendapatkan alternatif pekerjaan yang lain," ujarnya.

Terkait dengan kemungkinan buruh rokok yang beragama Islam mengundurkan diri, kata dia, hal tersebut dimungkinkan terjadi, karena pekerjaannya itu juga termasuk haram.(ANT/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010