publik juga semakin kritis dalam mencermati adanya oknum ASN yang terlibat politik praktis khususnya dukung-mendukung dalam pilkada
Jakarta (ANTARA) - Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pemilihan umum serta pemilihan kepala daerah selalu mengemuka dan menjadi sorotan publik.
Begitu juga saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Netralitas ASN sedang menjadi sorotan mendekati hari pencoblosan pada 9 Desember mendatang.
Seperti pada pilkada-pilkada sebelumnya, netralitas ASN sedang diuji. Godaan untuk terlibat dalam dukung-mendukung diperkirakan sedang terjadi secara personal.
Informasi mengenai hal tersebut akhir-akhir ini kerap muncul ke publik. Tetapi publik juga semakin kritis dalam mencermati adanya oknum ASN yang terlibat politik praktis khususnya dukung-mendukung dalam pilkada.
Sebagai mesin birokrasi pemerintah, para ASN dipandang memiliki andil tak sedikit dalam kemenangan seorang calon kepala daerah. Itu karena jumlahnya di daerah yang menyelenggarakan pilkada cukup banyak.
Di sebagian masyarakat--terutama di daerah--ASN juga dipandang sebagai orang terhormat, punya ketokohan dan informasi mengenai calon-calon kepala daerah. Karena itu, merayu ASN adalah salah satu strategi yang sering dilakukan calon kepala daerah.
Baca juga: Menpan-RB siapkan surat pemecatan PNS tidak netral
Dalam konteks inilah kerap terjadi pelanggaran netralitas ASN. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) telah mendapat ratusan laporan pelanggaran netralitas ASN terkait dengan pelaksanaan tahapan pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa wabah ini.
Berdasarkan data per 30 September 2020, terdapat 694 pegawai ASN yang dilaporkan melakukan pelanggaran netralitas. Sebanyak 492 telah diberikan rekomendasi penjatuhan sanksi pelanggaran netralitas, dengan tindak lanjut pemberian sanksi dari PPK baru 256 ASN atau 52 persen.
Mendekati Calon
Ketua KASN Agus Pramusinto dalam "Kampanye Virtual Gerakan Nasional Netralitas ASN" di Jakarta Rabu (7/10) menjelaskan pelanggaran netralitas oleh para ASN tersebut. Yakni kampanye atau sosialisasi melalui media sosial dan melakukan pendekatan ke partai politik dan calon kepala daerah.
Selain itu menyelenggarakan kegiatan yang berpihak pada salah sau calon kepala daerah, menghadiri deklarasi pasangan calon serta membuat keputusan yang menguntungkan calon tertentu.
Baca juga: PNS tak netral terancam pidana
Berdasarkan instansi, pelanggaran netralitas paling banyak dilakukan di Kabupaten Purbalingga sebanyak 56 orang, Kabupaten Wakatobi (34 orang), Kabupaten Kediri (21 orang) Kabupaten Musi Rawas Utara (19 orang) dan Kabupaten Sumbawa (18 orang).
Sementara berdasarkan wilayah, pelanggaran terbanyak dilakukan oleh ASN di Sulawesi Tenggara (Sultra) sebanyak 90 orang, lalu Nusa Tenggara Barat (83 orang), Jawa Tengah (74 orang), Sulawesi Selatan (49 orang) dan Jawa Timur (42 orang).
Para pelanggar ASN tersebut umumnya memiliki jabatan pimpinan tinggi, fungsional, pelaksana, administratur serta kepala wilayah seperti camat dan lurah.
Agus mengatakan azas netralitas menjadi bagian dari etika dan perilaku yang wajib diterapkan oleh seluruh ASN sebagai penyelenggara negara. Pelanggaran netralitas tersebut menyebabkan kualitas pelayanan publik menjadi rendah serta memunculkan praktik korupsi di kalangan ASN.
Pelanggaran terhadap azas netralitas akan menjadi pintu masuk munculnya berbagai gangguan dan pelanggaran hukum lainnya.
Deklarasi
Dalam kampanye virtual tersebut juga dilakukan Deklarasi Netralitas ASN dalam rangka Pilkada Serentak Tahun 2020. Deklarasi tersebut berisi empat poin komitmen yang harus dilakukan seluruh ASN selama pelaksanaan tahapan pilkada.
Pertama, menjaga dan menegakkan prinsip netralitas ASN menghindari konflik kepentingan. Kedua, tidak melakukan praktik intimidasi dan ancaman kepada pegawai ASN dan masyarakat, tidak memihak kepada pasangan calon tertentu.
Ketiga, menggunakan media sosial secara bijak, tidak untuk mendukung pasangan calon, tidak untuk ujaran kebencian dan berita bohong. Keempat, menolak politik uang dan segala jenis pemberian dalam bentuk apa pun.
Untuk menjaga netralitas ASN, pada 10 September 2020 ditandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pengawasan Netralitas ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020.
SKB ditandatangani oleh Menteri Pendayagunaan ASN dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana dan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto.
Baca juga: PNS Kepulauan Riau tidak netral di Pilkada bisa dipecat
Penandatanganan dilakukan secara virtual yang disaksikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar dan Deputi I Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mayjen TNI Purnomo Sidi.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo mengatakan tujuan penetapan SKB tersebut antara lain sebagai pedoman bagi instansi pemerintah dalam menjaga netralitas ASN, khususnya pada penyelenggaraan Pilkada Serentak Tahun 2020.
Selain itu, membangun sinergi, meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengawasan netralitas pegawai ASN. Selanjutnya untuk mewujudkan kepastian hukum terhadap penanganan pelanggaran asas netralitas pegawai ASN.
Netralitas ASN menjadi jaminan bagi penyelenggaraan birokrasi kuat dan iklim demokrasi sehat dalam pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, mandiri, jujur dan adil.
Kunci Keberhasilan
Bagi Tito Karnavian, netralitas ASN menjadi kunci penting dalam meminimalkan konflik di daerah sebagai dampak dari pelaksanaan pesta demokrasi tingkat daerah. Karena itu, netralitas juga menjadi kunci keberhasilan pilkada ini.
Terkait pengawasan pemilu, Abhan berharap keterlibatan ASN dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 berkurang dibandingkan pada Pilkada 2018. Pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2018, Bawaslu RI mencatat sedikitnya 700 kasus ketidaknetralan oknum ASN, Polri dan TNI.
ASN sering ada pada posisi dilematis di setiap penyelenggaraan agenda pemilu maupun pilkada. Dalam konteks perhelatan politik kontestatif, sering ada kenyataan bahwa ASN tergerus dalam pusaran tarik-menarik kekuasaan.
Faktor utama yang mempengaruhi ketidaknetralan tersebut disebabkan adanya intimidasi dan ancaman oleh kekuasaan birokrasi terhadap ASN di tingkat bawah.
"Mengambil posisi netral dapat dianggap sebagai sebuah pembangkangan yang akibatnya bisa sangat fatal bagi posisi mereka dalam struktur birokrasi," ujarnya.
Penyakit Lama
Netralitas ASN dalam pilkada juga menjadi perhatian Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menurut Wapres, persoalan netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada pelaksanaan pilkada merupakan penyakit lama yang tidak kunjung sembuh. Penyakit itu kambuh setiap lima tahun sekali.
“Netralitas ASN dalam pilkada ini kayaknya penyakit lama yang tidak sembuh-sembuh, belum sembuh. Masalah netralitas itu jadi cacatnya demokrasi kita dalam pelaksanaan pilkada,” kata Ma’ruf Amin.
Tidak hanya saat pilkada, persoalan netralitas ASN baik di instansi pemerintahan pusat maupun daerah juga terjadi ketika pemilihan presiden (pilpres).
Ma’ruf Amin meminta KASN dapat memberikan pengawasan ekstra terhadap indikasi keberpihakan ASN pada pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2020.
KASN diharapkan turut memberikan pengawasan terhadap penerapan kode etik pelaku dan netralitas ASN sesuai kewenangannya, terutama dalam menghadapi perhelatan pilkada pada Desember mendatang.
Hal itu penting mengingat netralitas ASN menjadi faktor penentu bagi kualitas dan keberhasilan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Netralitas adalah salah satu faktor penentu kualitas demokrasi dan kontestasi dalam pemilihan umum.
Perhatian terkait netralitas ASN ini harus mendapatkan prioritas bersama, demi menjaga amanah konstitusi tentang demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Harus Dijaga
Pilkada merupakan mandat konstitusi sekaligus sarana bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi politiknya secara demokratis. Karena itu, Pilkada Serentak 2020 harus dilakukan secara terbuka, akuntabel, berintegritas dan netral.
Kesakralan prosesi demokratis pilkada, yaitu keterbukaan, akuntabilitas, integritas dan netralitas dalam penyelenggaraannya, harus dijaga agar tidak dikotori oleh hal-hal yang dapat merusak esensi dan sendi-sendi dasar demokrasi itu sendiri.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN telah disebutkan jelas bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN didasarkan pada azas netralitas. Karena itu, netralitas menjadi prinsip, nilai dasar, kode etik dan kode perilaku yang tidak dapat dipisahkan dari ASN.
Karena itu, SKB tentang Pengawasan Netralitas ASN dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 diharapkan dapat diterapkan dengan benar oleh seluruh instansi dan ASN di 270 daerah.
Kalangan ASN pasti sudah tahu aturan tersebut. Jadi, pilih konsisten menjaga netralitas atau dilaporkan ke KASN?
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020