Menurut pengamat hukum pidana bisnis dari Universitas Borobudur itu, apabila ada sejumlah perusahaan dari 13 korporasi yang tidak melanggar aturan, maka kasus tersebut tidak bisa dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum maupun ke proses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
"Penyidik seharusnya obyektif, kalau memang tidak ada unsur kesengajaan (korporasi) dan kerugian negara sudah kembali, terus kenapa harus dilanjutkan. Itu kan persoalan bisnis," kata dia dalam pernyataan kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Ia menilai risiko bisnis yang melibatkan korporasi tersebut sudah tidak memiliki unsur kerugian negara karena seluruh kerugian negara atas kasus korupsi Jiwasraya telah disita dan telah masuk penuntutan.
"Selain itu, mereka (korporasi) juga telah memenuhi kewajiban administrasi yang diminta penyidik, sehingga perkaranya tidak perlu lagi dilanjutkan ke pengadilan. Kalau ada dari 13 tersangka korporasi yang tidak terbukti maka harus dihentikan. Tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan," kata Faisal.
Baca juga: Kejagung tetapkan 13 perusahaan tersangka kasus Jiwasraya
Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, jumlah kerugian negara mencapai Rp16,8 triliun. Namun, Kejaksaan Agung sudah menyita aset para terdakwa yang sedang diadili sebesar Rp18,4 triliun, atau lebih Rp 1,6 triliun.
Aset yang disita tersebut dapat dikembalikan seluruhnya kepada negara atau hanya sebagian.
Sedangkan, sebagian lagi dikembalikan ke tempat dimana aset tersebut disita Kejaksaan Agung, jika dapat dibuktikan di pengadilan bahwa aset tersebut tidak terkait perkara pidana korupsi Jiwasraya.
Hingga saat ini, kata Faisal, tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung masih terus melakukan penyidikan terhadap 13 tersangka korporasi tersebut.
Seperti diketahui, pada Jumat malam (2/10) Direktur Penyidikan Kejagung, Febrie Adriansyah mengatakan tim penyidik tindak pidana khusus (Pidsus) Kejagung sudah menyelesaikan 80 persen penyidikan terhadap berkas perkara tersangka 13 korporasi dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) jilid II.
Ia menjelaskan bahwa penyidik pidana khusus juga melakukan analisa terkait fakta persidangan yang telah bergulir terhadap enam terdakwa sebelumnya, yaitu terdakwa Syahmirwan, Hendrisman, Hary Prasetyo, Heru Hidayat, Benny Tjokorsaputro dan terdakwa Joko Hartono Tirto.
Mereka didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara membeli sejumlah saham ke beberapa perusahaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum serta prinsip good corporate governance.
Di sisi lain, saham-saham yang menjadi portofolio dalam Reksadana merupakan saham-saham yang listing di Bursa Efek Indonesia, dan masih ditransaksikan. Sehingga negara mengalami kerugian sebesar Rp16,8 triliun.
Baca juga: Kejagung geledah dua kantor perusahaan investasi
Adapun 13 korporasi yang menjadi tersangka dalam kasus ini adalah, PT DMI/PAC), PT OMI, PT PPI, PT MDI/MCM, PT PAM, PT MNCAM, PT MAM, PT GAPC, PT JCAM), PT PAAA, PT CC, PT TFII, dan PT SAM.
Ketiga belas perusahaan tersebut dijerat dengan pasal primer Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain itu, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Baca juga: Kejagung sita dokumen dan komputer dari penggeledahan 13 perusahaan
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2020