Jadi bisa kita bayangkan betapa nilai tambah yang diberikan oleh hilirisasi dari penyerapan garam

Jakarta (ANTARA) - Bagi tim medis atau sebagian masyarakat yang pernah merasakan perawatan di rumah sakit, cairan infus tentu menjadi barang yang tidak asing.

Cairan infus atau dalam istilah kedokteran disebut intravenous fluid, tersimpan di dalam sebuah kantong atau botol steril yang akan dialirkan melalui selang menuju pembuluh darah.

Terdapat beragam jenis cairan infus yang dapat digunakan ketika pasien mendapatkan perawatan, salah satunya yakni cairan saline
NaCL 0.9 persen.

Cairan itu mengandung natrium dan clorida yang digunakan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang, mengoreksi ketidakseimbangan elektrolit, dan menjaga tubuh agar tetap terhidrasi dengan baik.

Adapun salah satu bahan baku untuk membuat cairan infus tersebut adalah garam berkualitas tinggi dengan kadar NaCl lebih dari 99,5 persen. Garam kualitas yang sama juga menjadi bahan baku untuk memproduksi tablet, pelarut vaksin, oralit, dan cairan pencuci darah di industri farmasi.

Kualitas garam yang dibutuhkan oleh industri farmasi tersebut nyatanya masih banyak dipenuhi dari luar negeri alias impor. Pasalnya, meskipun disebut sebagai negara dengan garis pantai yang panjang, Indonesia belum mampu memenuhi standar kebutuhan kualitas garam industri, di mana kadar NaCl dari garam yang dihasilkan petani nasional rata-rata di bawah 97 persen.

Selain itu, rendahnya produksi garam nasional juga menjadi alasan Indonesia masih mengimpor garam.

Tak ayal, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas dengan topik "Percepatan Penyerapan Garam Rakyat" melalui "video conference" dengan para menteri Kabinet Indonesia Maju beberapa waktu lalu.

Presiden menyebut, masalah garam rakyat yang sudah diketahui sejak lama itu tidak pernah dicari jalan keluarnya.

"Dari dulu gitu terus dan tidak pernah ada penyelesaian," tegas Presiden.

Dalam ratas tersebut, presiden menginginkan langkah-langkah perbaikan produksi garam nasional dari hulu hingga ke hilir.

Salah satu yang diperintahkan kepala negara adalah mempercepat integrasi antara ekstensifikasi lahan garam rakyat yang ada di 10 provinsi agar betul-betul diintegrasikan.

Dalam hal ini, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro menyatakan pemerintah akan mengembangkan konsep garam industri terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan sekaligus mencegah impor.

Garam industri terintegrasi adalah pabrik garam yang terintegrasi langsung dengan lahannya, sehingga para petani garam nantinya bisa menjual hasil garam rakyatnya yaitu NaCl yang masih di bawah 90 persen kepada pabrik.

Selanjutnya pabrik tersebut yang akan meningkatkan kualitas garam rakyat tersebut menjadi garam industri dengan kandungan NaCl di atas 97 persen.

Menurut Bambang, saat ini sudah ada satu pabrik yang selesai dan sudah beroperasi di Gresik untuk melakukan hal tersebut. Presiden Jokowi pun memerintahkan agar segera ditambah satu hingga dua pabrik lagi tahun depan.

Baca juga: Presiden gelar rapat terbatas soal peningkatan penyerapan garam rakyat

Perbaikan produktivitas garam

Pemerintah optimistis dengan penggunaan teknologi dengan investasi per pabrik sekitar Rp40 miliar, maka kita nantinya bisa substitusi impor dan mandiri untuk kebutuhan garam aneka pangan atau pertambangan.

Penggunaan teknologi juga akan diintesifkan untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap impor garam industri misalnya dengan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang sudah dilakukan di PLTU yang ada di Banten.

Sementara berbagai perbaikan produktivitas garam nasional mulai terus-menerus dilakukan pemerintah, kebutuhan sektor industri akan garam harus tetap dipenuhi.

Selain industri farmasi, beberapa industri yang membutuhkan garam sebagai bahan baku antara lain industri petrokimia, industri pulp dan kertas, industri aneka pakan ternak, industri penyamakan kulit, industri tekstil dan resin, industri sabun dan detergen, serta industri kosmetik. Untuk itu, impor garam untuk memenuhi kebutuhan industri saat ini tak dapat dihindari.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menghitung, dari impor garam yang diperuntukkan bagi industri nasional sebesar 108 juta dollar AS pada 2019, akan menghasilkan nilai ekspor yang jauh lebih besar, yakni 37,7 miliar dolar AS.

Oleh karena itu, impor garam yang masih harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri nasional tersebut sangat siginifikan untuk mendongkrak kinerja ekspor industri dalam negeri yang akan memengaruhi perputaran kegiatan ekonomi nasional.

"Jadi bisa kita bayangkan betapa nilai tambah yang diberikan oleh hilirisasi dari penyerapan garam," ujar Agus.

Mantan Menteri Sosial itu juga menyampaikan, kebutuhan bahan baku garam industri akan terus bertambah. Berdasarkan data Kemenperin, kebutuhan garam industri pada 2020 naik 6,8 persen dari 2019.

Selain mengakomodir kebutuhan industri dengan impor, Agus juga mengatakan pihaknya akan meningkatkan penyerapan produksi garam petani lokal. Garam impor, kata Agus, tidak boleh masuk pasar domestik, karena hanya boleh digunakan industri untuk hilirisasi.

Peneliti Center for Information and Development Studies (CIDES) Rudi Wahyono mengatakan, melalui pendekatan teknologi, produksi garam nasional diyakini akan mampu memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan industri.

Selain teknologi, tambah Rudi, keberpihakan pemerintah melalui berbagai kebijakan untuk mendukung produksi garam lokal juga akan memberikan angin segar untuk mewujudkan produk garam yang dibutuhkan.

Dengan demikian, tumbuh harapan bahwa sebagai negara dengan garis pantai yang panjang, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan garam industri maupun konsumsinya sendiri.

Baca juga: Menperin: Impor garam 108 juta dolar hasilkan ekspor 37 miliar dolar
Baca juga: Pemerintah bangun garam industri terintegrasi untuk penuhi kebutuhan

Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2020