Khartoum (ANTARA News/AFP) - Sudan menyatakan, Senin, militernya telah menguasai dataran tinggi strategis Jebel Marra di daerah Darfur yang dilanda konflik di Sudan barat setelah pertempuran baru antara pasukan pemerintah dan pemberontak.
"Angkatan bersenjata Sudan kini menguasai seluruh daerah Jebel Marra," kata juru bicara militer Sawarmi Khaled Saad pada jumpa pers di Khartoum.
"Masih terjadi bentrokan sesekali, namun itu biasa dan tidak mempengaruhi situasi secara keseluruhan di sektor tersebut," tambahnya.
Pertempuran dikabarkan terjadi antara militer dan pemberontak Tentara Pembebasan Sudan pimpinan Abdelwahid Nur di Jebel Marra, sebuah lembah subur perbukitan di Darfur yang menjadi pangkalan pemberontakan yang meletus pada 2003.
Bentrokan baru antara kelompok Nur dan pasukan pemerintah itu terjadi setelah kelompok pemberontak utama, Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM), menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan Khartoum pada bulan lalu.
Kelompok Abdelwahid Nur menentang perjanjian itu.
Menurut kelompok pemberontak tersebut, lebih dari 200 warga sipil tewas dalam pertempuran baru di Jebel Marra. Badan bantuan Prancis "Medecins du Monde" memperkirakan, sekitar 100.000 orang mengungsi akibat bentrokan-bentrokan itu.
Baik PBB maupun UNAMID (pasukan penjaga perdamaian gabungan PBB-Uni Afrika) tidak bisa memastikan angka-angka itu karena kurangnya personel di lapangan.
Jumat, kelompok bersenjata menculik lebih dari 40 prajurit penjaga perdamaian yang menjadi bagian pasukan patroli lebih dari 60 orang ketika mereka sedang menuju Jebel Marra untuk menilai pertempuran baru, namun mereka dibebaskan sehari kemudian.
Senin, juru bicara militer Sudan mengatakan bahwa pasukan penjaga perdamaian telah mengabaikan saran agar tidak melakukan perjalanan ke Deribat di daerah Jebel Marra.
Pemerintah Sudan dan JEM, kelompok pemberontak utama di Darfur, menandatangani perjanjian dan kerangka kesepakatan di ibukota Qatar pada 23 Februari, dan perjanjian final akan ditandatangani sebelum 15 Maret.
Sehari setelah penandatanganan itu, Presiden Sudan Omar al-Beshir menyatakan "perang Darfur telah berakhir".
"Krisis di Darfur selesai; perang di Darfur berlalu. Darfur kini dalam perdamaian," kata Beshir mengenai konflik tujuh tahun itu, yang telah menghancurkan kawasan tersebut.
Beshir menyebut perjanjian Doha itu sebagai "sebuah langkah penting untuk mengakhiri perang dan konflik di Darfur".
Pemberontak Darfur mengadakan dua babak perundingan dengan para pejabat pemerintah Khartoum di Qatar pada Februari dan Mei 2009.
Pada Februari tahun lalu, JEM menandatangani sebuah perjanjian perdamaian dengan pemerintah Khartoum mengenai langkah-langkah pembangunan kepercayaan yang bertujuan mencapai perjanjian perdamaian resmi.
Pada Mei, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.
Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.
Perundingan yang dituanrumahahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika.
Ketegangan meningkat di Sudan setelah Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) pada 4 Maret memerintahkan penangkapan terhadap Beshir.
Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang.
Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.
Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.
Para ahli internasional mengatakan, pertempuran enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.
PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan. (M014/K004)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010