Setiap terjadi transisi energi baik dulu atau sekarang ada 'winner' dan 'loser'
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Budi Gunadi Sadikin meminta BUMN bidang energi mengantisipasi transisi dari energi berbasis fosil menjadi energi baru dan terbarukan (EBT).
Menurut dia, perusahaan yang tidak bisa menyesuaikan bisnisnya dalam era transisi energi ini, akan kalah.
"Ya memang tidak akan langsung terjadi, butuh waktu sekitar 20-30 tahun, tapi setiap terjadi transisi energi baik dulu atau sekarang ada winner dan loser," ujar Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi Lemhannas bertema "Revitalisasi BUMN Bidang Energi Untuk Kesejahteraan Rakyat" di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Indonesia masuk peringkat 2 pencipta pekerjaan dari energi terbarukan
Ia mengatakan sebagian besar masyarakat dunia percaya bahwa kenaikan suhu sebesar dua derajat Celsius, dapat menyebabkan Bumi tenggelam.
"Kalau naik lebih dari dua derajat Celsius, maka akan cair es di Kutub Utara dan Selatan sehingga Bumi akan tenggelam," ucapnya.
Ia mengatakan penyebab utama dari kenaikan suhu Bumi adalah pembakaran sumber daya alam seperti batu bara dan minyak yang digunakan untuk menghasilkan energi sehingga mengakibatkan peningkatan jumlah karbon dioksida di udara.
"Ini hasil dari transisi sistem energi yang pertama, energi primer karbon menjadi listrik dan gerak terjadi pada tahun 1800-an. Ada dua transisi besar waktu itu, yakni energi berubah menjadi gerak dengan ditemukannya motor bakar. Saat bersamaan ditemukan energi berubah menjadi listrik," paparnya.
Indonesia, lanjut dia, harus dapat mengantisipasi transisi energi ini dengan menyediakan energi yang diinginkan masyarakat dunia.
"Yang penting, kita sebagai bangsa, begitu terjadi transisi energi, maka yang terjadi adalah ada bangsa yang maju dan tertinggal. Bangsa yang menguasai teknologi ini akan selamat, bukan hanya selamat, tetapi menjadi bangsa yang maju," ucapnya.
Budi juga menyampaikan terdapat tiga hal untuk membangun kedaulatan energi nasional, yakni ketersediaan (avaibility), keterjangkauan (affordability), dan terbarukan (renewable).
"Jadi, energi itu harus tersedia secara cukup di seluruh pelosok bagi rakyat. Selain tersedia, harganya juga harus terjangkau dan harus terbarukan," ucapnya.
Dalam transisi energi saat ini, lanjut dia, masyarakat sudah mulai cenderung menjauhi energi karbon menyusul minat kaum milenial yang lebih suka dengan mobil listrik.
Situasi itu, menurut Budi, akan mengancam pendapatan PT Pertamina (Persero) dan berpotensi pindah ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Sekitar 65 persen pendapatan Pertamina merupakan penjualan bahan bakar minyak (BBM).
Menanggapi hal itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bisnis Pertamina ke depan tidak fokus pada penjualan BBM, petrokimia akan menjadi bisnis baru yang sangat menjanjikan.
"Petrochemical akan menjadi salah satu pilar bisnis Pertamina ke depan, dan demand petrochemical ini besar, baik global dan di Indonesia," ucapnya.
Pada saat transisi ini, Nicke juga mengatakan Pertamina mengawalinya dengan memanfaatkan gas untuk selanjutnya masuk ke bisnis EBT.
"Kita juga perlu liat gas sebagai transisi antara energi fosil dan EBT. Sesuai RUEN (rencana umum energi nasional) porsi ini akan meningkat," katanya.
Kendati demikian, Nicke mengakui saat ini pihaknya masih fokus pada bisnis migas.
"Dengan demand yang masih growth, Pertamina akan tetap melakukan usaha di upstream dan downstream," katanya.
Baca juga: Menteri Energi G20 sepakati peran penting biofuel bagi energi bersih
Baca juga: Ini jurus pemerintah tingkatkan pemanfaatan energi bersih
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020