Pangkalpinang (ANTARA News) - Retribusi 20 persen di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Ketapang, Kota Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung (Babel), memberatkan para nelayan tradisional yang menjual hasil tangkapan ikan di tempat itu.

Zainal Abidin, nelayan tradisional di Jalan Trem, Kota Pangkalpinang, Minggu, mengatakan, retribusi 20 persen itu sangat memberatkan nelayan.

Apalagi, menurut dia, pemerintah provinsi dan pusat sudah memerintahkan agar retribusi itu dihapuskan.

"Kami sangat dirugikan dengan masih diberlakukannya retribusi dan punggutan yang jumlahnya mencapai 20 persen dari hasil penjualan ikan. Apalagi hasil tangkapan menurun drastis karena pengaruh cuaca dan pencemaran air laut akibat penambangan bijih timah di laut," ujarnya.

Ia menjelaskan, setiap membongkar hasil tangkapan, para nelayan harus membayar retribusi sebanyak lima persen kepada petugas dinas perikanan dan kelautan, sementara retribusi 15 persen diserahkan kepada aparat keamanan yang bertugas di TPI itu.

"Retribusi yang ditarik tanpa melihat kondisi iklim atau saat nelayan sulit mendapatkan hasil tangkapan. Setiap kapal yang merapat dan membongkar hasil tangkapan ikan retribusi harus dibayar kepada petugas," ujarnya.

"Retribusi sebaiknya dilakukan pada kapal-kapal ikan ukuran besar karena kapal-kapal besar tersebut memiliki alat tangkap yang canggih dengan hasil tangkapan yang banyak, sedang nelayan tradisional hanya mengunakan alat tangkap pancing dan jaring," ujarnya.

Sementara menurut Firman, nelayan Kampung Opas, Kota Pangkalpinang meminta pemerintah daerah untuk menghapuskan segala bentuk retribusi dan punggutan di TPI.

"Hasil penjualan ikan hanya cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari," ujarnya.

Ia mengatakan, rata-rata hasil penjualan ikan bersih yang diterima berkisar Rp600 ribu hingga Rp800 ribu, sementara harga kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak cukup tinggi.

"Kami sangat berharap, pemerintah membantu nelayan dengan menghapus retribusi dan punggutan yang diberlakukan selama ini," katanya. (KMN/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010