industri rokok sebenarnya juga tidak menghendaki adanya kenaikan prevalensi merokok anak

Jakarta (ANTARA) - Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar menyatakan dukungannya terhadap pemerintah dalam menekan prevalensi atau kebiasaan merokok pada anak di Tanah Air yang semakin meningkat.

"Kami mendukung pemerintah untuk turunkan prevalensi merokok anak. Kami sendiri dari industri rokok sebenarnya juga tidak menghendaki adanya kenaikan prevalensi merokok anak, karena kita sudah mengikuti peraturan pemerintah," ujar Sulami dalam pernyataannya di Jakarta, Selasa.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi merokok pada anak dan remaja meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Angka tersebut jauh dari target RPJMN 2015-2019 yang menargetkan perokok anak turun hingga 5,4 persen pada 2019.

Menurut Sulami, faktor dominan penyebab rokok usia dini dikarenakan ada anggota keluarga yang juga merokok, pendidikan, lingkungan sosial, teman sekolah dan kondisi psikologis, dan faktor lainnya.

Ia juga menilai, harga rokok mahal tidak menjamin penurunan prevalensi anak merokok.

"Satu bukti penelitian, 43 persen jika harga rokok naik, akan memilih beralih ke produk lain. Sedangkan sebanyak 57 persen tidak beralih produk rokok, sehingga harga yang berubah tidak berpengaruh terhadap perubahan konsumsi rokok usia dini," ujar Sulami.

Sulami berharap pemerintah dapat fokus dalam mengoptimalkan kebijakan yang sudah ada diantaranya seperti program pendidikan wajib belajar, pengadaan program sosialisasi di sekolah, maupun kegiatan di tingkat desa bagi orang tua tentang pengaruh merokok di usia dini, penegasan aturan tentang pemasaran terbatas. Kemudian pengoptimalan berbagai program peningkatan taraf hidup masyarakat, dan program pemberian susu dan makanan bergizi secara gratis bagi balita Indonesia melalui Posyandu.

Ia menuturkan upaya edukasi dan sosialisasi tersebut merupakan tanggung jawab berbagai pihak dari mulai pemerintah, pihak swasta, dan orang tua. Yang diperlukan, lanjutnya, adalah kerjasama semua pihak untuk implementasi secara giat.

Sementara itu, regulasi PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan juga dinilai sudah sangat komprehensif dan tidak perlu diubah.

"Industri rokok keberadaannya sudah sangat tertekan dari kenaikan cukai dan terlebih kondisi perekonomian sedang sulit karena pandemi COVID-19. Jangan sampai pemerintah mengkambinghitamkan industri rokok karena hal ini, industri rokok adalah salah satu sektor padat karya yang menghindari rasionalisasi buruh rokok dan memberikan kontribusi yang nyata tapi tidak diberikan proteksi yang baik oleh pemerintah," kata Sulami.

Baca juga: KPAI minta pemerintah ratifikasi protokol FCTF
Baca juga: Bappenas: Negara hadir bantu masyarakat ingin berhenti merokok
Baca juga: Muhadjir Effendy: Merokok bisa berdampak terhadap kekerdilan anak

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2020