Jakarta (ANTARA News) - Sebenarnya film "Alice in Wonderland" yang tampilannya tiga dimensi atau bekennya 3-D, menggunakan teknologi dua dimensi dalam pengambilan gambarnya. Sutradara Tim Burton kemudian hanya mengkonversikan hasilnya ke dalam tampilan mutakhir seperti dalam film 'Avatar', namun justru itu memberi kesan kuno dalam proses pembuatannya.

Kesan kuno itu semakin kental melihat keterlibatan penulis skenario veteran film-film animasi Disney, Linda Woolverton, yang dikenal lewat karyanya di beberapa film seperti 'Beauty and The Beast' dan 'The Lion King'.

Dalam versi terbaru dari dongeng karya Lewis Carrol itu, Alice ditampilkan sebagai gadis cilik berumur enam tahun yang bingung setelah jatuh ke lubang dan menyaksikan makhluk-makhluk aneh, yang lalu ditenangkan oleh ayahnya yang baik bahwa itu semua hanya mimpi.

Tigabelas tahun kemudian, Alice yang menjelma menjadi gadis muda pemurung (diperankan aktris Australia Mia Wasikowska) harus mengikuti sebuah jamuan minum teh yang kaku ala ningrat dengan ibunya.  Alice yang sebenarnya seorang pemberontak, saat itu tidak suka mengenakan korset, dan walaupun tidak menyadarinya, dia tahun sedang menghadapi pesta pertunangan yang dirancang keluarganya.

Ketika Alice akhirnya bertemu dengan pria itu, pemuda bodoh bernama Hemish, kita langsung tahu bahwa pernikahan itu tak akan pernah terjadi.  Sisi baiknya, itu adalah bagian paling membosankan dari film tersebut sehingga kita memohon-mohon untuk kabur melalui lubang kelinci menuju pintu ke alam kaya imajinasi ciptaaan Burton.

Alice putus asa bahkan untuk lari sekalipun.  Dia lalu mengikuti seekor kelinci putih yang disulih suara oleh Michael Sheen, masuk ke lubang, menghadapi dunia baru yang aneh tempat binatang bisa berbicara dan bahkan bunga-bunga bisa menyuarakan isi pikiranya.

Memasuki kuatnya dunia khayal Burton tidak mengejutkan jika kita bertemu dengan banyak makhluk menarik, khususnya jika bertemu dengan kelinci-kelinci, yang disulih suaranya oleh seniman-seniman kelas atas Inggris.

Cheshire Cat, kucing yang selalu cemas dengan penyulih suara Stephen Fry, akan sangat susah dilupakan. Seperti juga Absolem si Ulat Biru yang disulih suara oleh Alan Rickman, Bayard the Bloodhound oleh Timothy Spall, dan sang legenda teror Christopher Lee mengisi suara Jabberwocky, naga penebar teror.

Memang kurang memuaskan pada bagian ketika mahkluk-mahkluk itu menghabiskan banyak waktu mereka untuk bertengkar dalam  memutuskan apakah Alice itu adalah Alice yang sama yang datang satu dekade terdahulu dan, jika memang benar dia, apakah ia telah kehilangan 'kemegahannya' ditahun-tahun yang telah lewat.

Bahkan yang lebih menyusahkan adalah ketika dia harus mengingat nama dari tempat itu dan dengan seenaknya menyebutnya 'Underland' bukan 'Wonderland'.

Pertentangan itu akhirnya semakin membosankan, bahkan ketika Johnny Depp muncul.

Perannya sebagai Mad Hatter benar-benar menampilkan seorang 'fashionista' yang merias topinya yang aneh seolah-olah tidak ada lagi hari esok.

Bakat dan kemampuan Depp memang tak bisa disangkal, tetapi penampilannya sangat santai persis yang pernah kita semua tonton sebelumnya.

Apa yang kemudian lebih disesalkan dari film ini adalah saat mencoba menampilkan versi Underland dari film 'Lord of The Rings', lengkap dengan kekuatan kolosal dari si jahat dan si jagoan sampai penggunaan CGI (Computer-generated imagery) biasa, yang menyedihkan.

White Queen yang diperankan oleh Anne Hathaway hadir mewakili kekuatan cahaya menghadapi saudarinya yang kejam, Red Queen, diperankan Bonham Carter, dengan sekutunya Jenderal Stayne the Knave of Hearts diperankan oleh Crispin Glover.

Para tokoh ini sedang berada dalam kecemasan karena telah diketahui bahwa sebuah dokumen keramat yang disebut Oraculum telah meramalkan bahwa Alice akan kembali memimpin pasukan cahaya dan menyingkirkan jagoan dari kekuatan kegelapan, Jabberwocky yang Agung.

Alice, tentu saja, berusaha meyakinkan bahwa ia tidak bisa menggunakan kekerasan dan tidak mampu melakukan hal-hal seperti itu, tetapi sekali lagi, sebenarnya apa yang dia tahu?  

Dalam adegan peperangan itu Burton dan kawan-kawannya bekerja keras secara khusus untuk menampilkan gambar Alice mengenakan pakaian kesatria Joan d'Arc lengkap dengan persenjataanya, lambang srikandi sejati, kepada para penonton.

Walaupun tidak mudah menghasilkan gambar seperti itu, alangkah baiknya jika gambar-gambar seperti itu dan keseluruhan filmnya, mengurangi pengaruh dan motif para eksekutif perusahaan dan menambahkan gambaran yang memang datang dari dalam hati, demikian ulasan Los Angeles Times, Jumat (5/3). (*)

penerjemah: liberty jemadu
editor    : jafar sidik

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010