Jakarta (ANTARA News) - Yess...,silakan berkumur-berkumur bersama jus bercitarasa jaz yang dihelat tiga hari berturut-turut pada 5, 6, 7 Maret 2010, dalam adonan seni improvisasi dari secangkir vitamin Jakarta International Java Jazz Festival (JJF) 2010.
Di Jakarta International Expo (JI Expo), disajikan 209 laga, dengan dimeriahkan 1300 punggawa musisi dalam dan luar negeri.
"Nyeruput" jus dari jazz menyegarkan jiwa publik yang gersang di sahara megapolitan. Sensasinya? Publik dapat sejenak mengerek panji katarsis bagi kemerdekaan dan kemuliaan hidup. Sebagai salah satu fenomena akbar dari peradaban manusia abad ke-20, jazz menyimpan energi pembebasan dari keterhinaan jiwa dan keterjajahan nurani. Dirimu adalah minumanmu. Lantunan musikmu adalah mercusuar hatimu.
Kalau jus diseruput, maka jazz dibelai dengan telinga, diusap dengan mata, kemudian diturunkan ke rimba kata-kata sebagai ekspresi dinamis di kolong langit ini. Bukankah sentra dari bunga-bunga kreativitas jazz berada pada sisi kontras dalam kebersamaan serba majemuk. Improvisasi, peganglah kata kunci ini.
Tanpa bermaksud "njlimet" dengan mengutarakan mantra adiluhung yang melingkupi teks bernama JJF 2010, publik perlu menggenggam setangkup aksioma bahwa jazz adalah seni improvisasi. Diartikulasikan secara filosofis, jazz mengubur idiom matinya penafsiran, karena diberlakukan formula "Plato sudah dilindas oleh Aristoteles, maka ide-idenya sudah dikubur". Carilah yang baru di kepala Anda. Dan JJV 2010 membetot nalar serba linear.
JJF 2010 mengaum, menggonggong dan menggigit mereka yang doyan mencampakkan kekuatan pembebasan. Bebas untuk apa? Bebas untuk mencapai "tahap kemanusiaan tertinggi" alias "humanum" dalam artikulasi filsuf Hans Kung, dan untuk "kematangan identitas" dalam artikulasi psikolog Erik Erikson, atau "keutuhan kepribadian" dari pemandangan psikolog Kohlberg. JJF 2010 adalah teks kehidupan dari manusia modern.
Seratus tahun lalu, orang-orang Hitam-Amerika yang hidupnya tersepak dan martabatnya terjajah, memproklamasikan jazz sebagai musik egalitarian. Satu lagu yang dipakai sebagai rangka dapat dikreasi-kembali bahkan dikonstruksi-kembali dalam 1001 watak dan gaya permainan yang berbeda. Kini JJF 2010, ingin membangun litani bahwa tidak ada mutlak-mutlakan dalam seni musik jazz.
"Tahun ini ada 430 musisi asing, belum lagi ditambah dengan band pengiringnya. Jadi, total 1.300 musisi semuanya, termasuk dari Indonesia," terang Founder Chairman Java Jazz, Peter F Gontha, dalam jumpa pers JJF 2010 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (3/3/2010).
Dengan mengusung JJF 2010, dialog improvisasi semakin hangat karena para musisi jazz mencerminkan impian manusia modern, yakni memperoleh kemerdekaan dan kebebasan. Boleh dibilang, inilah kekuatan emansipatoris dari cerita berjudul JJF 2010.
"Setiap hari ada sekitar 75 show dari artis Indonesia dan international artist," kata Direktur Program JJF 2010 Eki Puradireja.
JJF 2010 menyimpan energi pembebasan dari keterkungkungan akan "yang itu-itu saja", atau meminjam dialek Betawi, "lu lagi, lu lagi". Dari 75 pertunjukan musik itu, lanjut Eki, ada beberapa program yang tak bisa diabaikan oleh para penonton JJF 2010.
"Special project tahun ini akan kita adakan dengan Andre Hehanussa dengan A Tribute to A Riyanto; lalu ada /rif, Idang Rasjidi dengan Benny Mustafa dengan tiga generasinya?Nikita Dompas (gitar), Indra Lesmana (piano), dan Yance Manusama (bas),"kata Eki.
Tambahan lagi, dari laga internasional, Peter memastikan artis-artis musik yang paling dinanti, yaitu John Legend, Toni Braxton, Kenny "Babyface" Edmonds, dan Dianne Warren, akan menambah gegap gempita JJF 2010. "Mereka pasti datang. Dan, suatu kebanggaan kita di Indonesia, kali ini kita dikunjungi Dianne Warren, salah satu penulis lagu terbesar di dunia. Kalau lagu-lagu The Beatles dan Elton John dikumpulin, mungkin lagu-lagu karya Dianne Warren akan lebih banyak," kata Peter.
JJF 2010 merobek kain pembatas benua. Bukankah sejarah bersaksi, menurut para ahli, bahwa musik "blues" dan "ragtime" yang sudah banyak dimainkan sejak awal tahun 1800-an, dianggap menjadi embrio jazz sebenarnya. Menurut telaah penulis musik Suka Hardjana, musik rakyat Afrika, Amerika Latin, dan musik populer Amerika menjadi oase tematik lagu-lagu jazz.
Elemen musik Afrika yang poliritmik bersinergi dengan elemen musik Amerika Latin yang "irregular", ditambah pula elemen musik musik Eropa yang serba "regular". Implikasinya, publik dalam JJF 2010 akan mengajukan pertanyaan, mana jazz yang benar-benar jazz, jazz yang setengah jazz, jazz yang gado-gado, dan jazz yang justru bukan jazz.
Bagi publik JJF 2010, silakan "ngrumpi", karena ada dugaan kuat bahwa istilah jazz berasal dari bahasa prokem "jaser" warga keturunan Perancis di New Orleans yang berarti "ngrumpi". Kalau salah satu ciri manusia modern adalah manusia yang tak punya akar, tidak memiliki visi jelas di masa depan, maka JJF 2010 ingin menawarkan "keraguan" atau skeptisisme, bahwa manusia modern adalah manusia yang hidup hanya untuk masa kini dan semata-mata untuk berimprovisasi.
Yes! Inilah makna eksistensial dari JJF 2010, bahwa manusia modern hidup bagai daun kering yang melayang seturut terpaan angin, atau orang yang senantiasa berjalan terus meski tak jelas hendak ke mana.
Inilah pemerdekaan dan pembebasan dari tajuk JJF 2010: 209 Pertunjukan, 1.300 Artis Musik, dalam Tiga Hari. Nyeruput jus, yuk. (A024/A038)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010